Hari ini hanya satu mata kuliah, karena itulah Gian sudah berada di lobby fakultasnya. Menunggu Langit yang katanya akan menjemput. Akan tetapi, sudah hampir setengah jam lamanya menunggu, langit belum juga datang.
Gian mengeluarkan ponselnya, mencoba menghubungi langit.
"Di mana, Lang?" tanya Gian saat sambungan telepon terhubung.
"Lo bisa nunggu sebentar? Asli deh, tadi gue udah mau ke parkiran, tapi malah ada rapat organisasi. Gue nggak mungkin bisa izin, baru pertama kali ngumpul."
"Oh iya, Lang. Gapapa, gue tunggu aja. Gue di lobby, kalau lo udah di depan fakultas hubungi aja."
"Gapapa 'kan? Lo nggak lagi capek? Atau minta siapa gitu buat anterin lo dulu."
"Aman, Lang. Lo fokus rapat aja dulu. Gue naik ojol aja bisa kok."
"Ya jangan, nunggu gue aja. Sebentar aja kok ini. Nanti gue izin balik duluan."
"Mulai deh, padahal gapapa. Gue bisa kok naik ojol sendirian."
"Lo mau Samuel marahin gue? Malas gue kalau si Sam udah ngambek, payah. Dia bucin banget sama lo. Apalagi Genta, maulah gue adu mulut sama tuh orang."
"Miris banget lo ya, Lang. Yaudah gue tunggu."
Sambungan terputus, kembali Gian melamun di lobby yang cukup ramai mahasiswa lalu-lalang. Lelaki itu lebih memilih duduk dengan bermain ponsel agar tidak bosan menunggu.
"Gian?" Panggilan itu membuat otomatis pandangannya langsung mengarah ke sumber suara.
"Vi, gue kira siapa."Lelaki itu mempersilakan Vienna untuk duduk di bangku kosong sebelahnya.
"Lo nunggu kelas selanjutnya?" tanya Vienna.
Gian menggeleng."Cuma satu matkul, ini udah pulang. Tapi lagi nunggu temen, katanya mau jemput."
"Kenapa nggak naik ojol aja? Deket juga, jalan juga bisa."
Gian hanya tersenyum canggung. 'Maunya sih gitu nggak mau ngerepotin orang-orang ....'
"Mereka yang mau, Vi. Selagi ada tumpangan gratis, ya masa nolak. Lo sendiri? Udah siap kelas?"
"Belum, masih ada satu matkul sejam lagi. Gue tadi lewat, mau ke kantin. Lihat lo sendiri, jadi gue samperin." Gian hanya mengangguk, tanpa membalas lagi.
"Kabarin gue kalau lo mau ikut band gue, Yan. Nanti bisa gue bilang ke pengurus, biar lo nggak terlalu ditanya-tanya."
"Iya, Vi. Nanti gue kabarin."
"Yaudah, gue duluan, ya. Hati-hati di jalan nanti, ya."
Tidak lama dari kepergian Vienna, Langit datang dengan keadaan seperti orang yang baru saja berlari. Gian melihat itu, langsung menghampiri Langit yang tampak kebingungan.
"Lang!" Langit menoleh ke arah sumber suara. Menghampiri Gian yang menatap dan tersenyum.
"Sori nunggu lama," ucap Langit begitu telah tiba di hadapan Gian.
"Gapapa, gue juga udah bilang tadi. Lagian gue nunggu lo duduk kok, nggak capek. Lo kali tuh yang capek. Pasti habis lari-larian."
"Gue takut lo nunggu lama," jawab Langit.
Akhirnya mereka pulang saat hari masih cerah, untungnya jarak kampus dengan kos tidak begitu jauh.
Begitu Gian turun, Langit memarkirkan motornya. Gian menunggu di depan pintu, dan akhirnya mereka masuk ke dalam rumah kos. Menemukan Genta di meja makan. Duduk dengan raut wajahnya yang tidak biasa.
"Kenapa tuh anak?" tanya Langit.
"Gue samperin dulu, mungkin lagi ada masalah." Langit mengangguk. Meninggalkan Gian yang saat ini memilih menghampiri temannya.
Begitu sudah dekat, lelaki itu terus memanggil Genta tetapi tidak ada satupun satuannya terjawab. Alhasil Gian sedikit menepuk pundak milik temannya.
"Ck, siap-" ucapan Genta terpotong saat mengetahui siapa yang menepuk pundaknya.
"Gian, maaf gue nggak tahu. Lo baru pulang? Sama Langit 'kan? Mana dia?" tanya Genta. Gian tidak membalas semua pertanyaan temannya, melainkan memilih duduk di samping Genta.
"Lagi ada masalah?" tanya Gian.
"Enggak, cuma capek aja. Ternyata kuliah secapek itu, ya? Gue yang sehat aja capek, apalagi lo. Capek nggak sih, Yan?" Genta menunduk.
"Gue capek, pasti. Kuliah adalah hal paling berat yang gue rasain selama hidup. Biasanya cuma di rumah, nunggu guru datang, belajar, tidur, makan, dan nggak boleh kemana-mana. Walaupun begitu, gue bahagia bisa di sini, bisa jumpa kalian, bisa kuliah dan pergi jauh dari rumah."
"Masalah gue nggak lebih berat kok dari lo, nggak penting juga."
"Berat nggaknya masalah, tergantung kita menghadapinya. Menurut lo masalah gue berat, tapi enggak juga. Karena penyakit ini, banyak orang peduli sama gue. Termasuk lo dan yang lain. Bisa aja masalah lo ini terlihat ringan, tapi lo nggak sanggup. Ya berarti masalah lo terlalu rumit, makanya cerita adalah solusi ngelepas itu."
Genta terdiam, tanpa menoleh maupun bersuara. Hanya mencerna ucapan temannya, tanpa niat membalas. Ragu, seakan lidah keluh.
"Gue anak panti, Yan." Gian cukup terkejut mendengar fakta itu. Namun, raut wajahnya masih diusahakan biasa saja.
Genta akhirnya menoleh ke arah temannya. "Lo mau dengar?" Gian mengangguk tanpa ragu.
"Gue dari kecil udah tinggal di panti. Nggak tahu siapa yang naruh, atau tinggalin gue di sana. Kata bunda yang asuh gue, dia yang nemuin waktu badan gue masih merah." Gian tidak merespon, masih menunggu Genta menyelesaikan ceritanya.
"Jadi gue nggak tahu siapa orang tua kandung gue. Bahkan ulang tahun aja gue nggak tahu kapan." Genta terdiam sejenak, menoleh ke arah Gian.
"Tadi, bunda nelepon. Katanya ada yang nyariin gue, Yan. Kata bunda, mereka orang tua kandung gue. Tapi percuma, semua udah asing bagi gue."
"Gue udah boleh bicara?" tanya Gian. Genta mengangguk.
"Temuin, Ta. Gue tahu orang tua salah, bahkan tega ninggalin lo yang bahkan mungkin baru lahir. Tapi, Ta, nggak nutup kemungkinan ada alasan dari itu semua. Walaupun gue juga nggak bisa membenarkan tindakan mereka. Tapi mereka, orang tua lo."
"Gue belum siap, Yan. Gue ... gue udah nyaman hidup seperti ini. Udah nggak mikirin mereka yang akan jemput gue. Tapi apa? Mereka ngerusak ketenangan gue, dengan muncul saat gue bahkan udah melupakan mereka."
"Gapapa, mungkin lo masih belum terima mereka. Dipikirkan lagi, Ta. Mereka salah, tapi mengabaikan mereka juga bukan salah satu cara untuk menghindari masalah. Kalau lo takut ketemu dengan mereka, gue siap nemenin lo."
"Thanks, Yan. Gue boleh peluk lo nggak sih? Entah kenapa, kalau dekat lo, gue ngerasa tenang." Gian langsung merentangkan tangannya, dan disambut pelukan hangat milik Genta. Karena sejujurnya, Gian juga merasakan hal yang sama.
༶•┈┈⛧┈♛
Haloo! Gimana dengan part ini?
Boleh dong tulis di kolom komentar seberapa sukanya kalian dengan cerita ini.Maaf yah, nunggu lama up-nya. 🥺
InsyaAllah minggu depan up lagi, yaa. Do'ain idenya lancar biar bisa nulis part baru... 😍
Love you, All.🤍
Update:
08.09.24
KAMU SEDANG MEMBACA
Abhipraya | Na Jaemin ft NCT Dream
FanfictionDia hanya ingin hidup lebih lama. Rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya menjadi bayang-bayang yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. ❗CERITA INI MURNI DARI PEMIKIRAN PENULIS. SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CERITA NYA copyright © 202...