Malam hari begitu panjang yang dirasakan olehnya. Gian duduk di meja belajarnya entah berbuat apa. Sedari tadi dadanya sedikit sesak. Sudah sejak sore terasa, namun dia abai dan memilih untuk tidur. Tapi ternyata, tidak ada yang berubah. Malah terasa lebih sakit dari sebelumnya.
Untuk beranjak dari kamar juga Gian tidak memiliki tenaga. Hanya mengandalkan kemampuannya untuk bisa mengurangi rasa sakit yang tersisa. Sedari tadi tidak hentinya Gian meremas dadanya. "Tahan, gue nggak mau repotin orang lain."
Gian mengambil air minum di sebelahnya, meminumnya hingga tandas. Tenaganya sudah terkuras habis, hanya bisa menenggelamkan kepala di dalam lipatan tangan. Entah apa yang akan terjadi. Gian berharap, tidak hari ini waktunya terhenti.
Dilirik jam ternyata masih pukul dua dini hari. Ingin meminta tolong pada yang lain juga tidak mungkin. Akhirnya Gian hanya bisa pasrah dengan menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja.
Namun tak lama ada yang mengetuk pintu kamarnya. Entah siapa tapi Gian tak bisa berbuat banyak. Sedangkan dibalik pintu ada Genta yang sedang mengetuk dengan raut wajah yang khawatir. Entah mengapa dia hanya ingin melihat wajah Gian agar perasaan yang mengganjal bisa segera hilang.
"Yan? Udah tidur ya!?" panggil Genta dengan sedikit berteriak.
Genta mencoba membuka pintu dan ternyata tidaklah dikunci. Sangat bodoh sekali dia memang. Harusnya dia bisa masuk sedadi tadi. Tidak seperti orang bodoh yang teriak-teriak jam segini.
Begitu masuk Genta menatap kasur yang kosong lalu beralih pada meja belajar yang ternyata Gian ada di sana. Dengan cepat dia menghampiri temannya itu.
"Yan? Kok tidur di sini?" Genta sedikit menggoyangkan badan Gian.
Gian berusaha mengangkat tubuhnya yang tak berdaya itu. Menatap Genta yang ternyata berkunjung ke kamarnya. Bisa Gian lihat wajah temannya itu menunjukkan raut khawatir.
"Ada apa ..., Ta?"
"Muka lo pucet banget, Yan? Sakit lo kambuh? Kenapa malah duduk di sini?"
Gian tak bisa mengelak karena apa yang dikatakan Genta benar adanya.
"Minta to ... long bawa gue ke ka ... sur, Ta." Genta dengan sigap membantu Gian berdiri dan membantu sampai ke kasur lalu mendudukkan Gian dengan perlahan.
"Masih sakit? Gue harus gimana? Udah minum obat, Yan?"
Gian mengangguk. "Udah, badan gue lemes banget tadi. Makanya nggak bisa balik ke kasur."
"Kenapa nggak hubungi gue atau yang lain sih, Yan? Mereka juga pasti bakal langsung bantuin lo." Gian menggeleng.
"Lagi pada tidur jam segini, Ta. Gue nggak mau ganggu kalian. Lagian gue biasa ngatasi sakitnya kok."
"Bisa gimana sih, Yan? Penyakit lo ini bukan penyakit pilek yang minum obat bakalan langsung sembuh. Di rumah lo masih ada orang tua yang selalu ada saat lo kambuh. Kalau di sini, lo ada kita. Jangan sungkan untuk hubungi yang lain kalau lo butuh bantuan. Mereka pasti bakal bantuin. Gue pun begitu."
"Iya, Ta. Terus ini kenapa lo bisa datang ke kamar gue? Buka pintu nggak izin lagi."
"Gue udah ngetuk pintu lo ya, tapi nggak direspon. Udah teriak-teriak kayak orang gila pun nggak ada respon. Gue paniklah. Pintu juga nggak lo kunci, jadi gue bisa masuk."
"Di rumah selalu dilarang kunci pintu jadinya kebawa sampai sini."
"Bagus sih itu, Yan. Gapapa, pintu lo jangan dikunci. Biar kalau ada apa-apa bisa langsung ketahuan. Sekarang, lo beneran udah baik-baik aja? Perlu apa lagi?"
Gian tersenyum dan menggeleng sambil menatap Genta di depannya. "Kita baru kenal tapi kok gue ngerasa kita udah pernah ketemu sebelumnya ya, Ta?"
"Berarti perasaan lo nggak sendiri karena gue pun ngerasa begitu." Genta melihat jam yang berada di atas meja nakas, beralih kembali pandangannya pada Gian yang masih memandangnya. "Tidur lagi, masih jam segini. Apa mau gue kelonin?" goda Genta yang membuat Gian refrek memukul pelan tangan Genta.
"Apaan sih, Ta. Memangnya gue cowok apaan. Udah sana lo balik."
"Dih, ngusir. Yaudah gue balik dulu. Ingat, kalau ada kerasa nggak enak dadanya langsung hubungi gue atau yang lain. Nomor gue selalu aktif, tenang aja."
Gian tersenyum tulus. "Iya, sekali lagi makasih ya."
Setelahnya Gian benar-benar sendirian lagi. Bohong jika rasa sakitnya hilang. Nyatanya sakit itu masih kerasa, namun dia bersyukur sudah tidak sesakit tadi.
Pada akhirnya Gian baru bisa tidur pukul tiga. Gian berusaha menutup matanya. Berharap untuk besok masih diijinkan untuk melihat dunia.
Masih belum rela jika harus meninggalkan semua. Belum memberikan sesuatu yang berharga pada orang-orang yang telah berjuang membuatnya tetap hidup. Karena itu, Gian selalu berusaha untuk tidak menyerah. Walaupun dia merasa, rasa sakit pada jantung kian parah.
'Ijinkan aku bertemu kebahagiaanku dulu, Tuhan ....'
༶•┈┈⛧┈♛
Update:
30.11.23
![](https://img.wattpad.com/cover/348443934-288-k640046.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Abhipraya | Na Jaemin ft NCT Dream
FanfictionDia hanya ingin hidup lebih lama. Rasa takut akan meninggalkan orang-orang yang dicintainya menjadi bayang-bayang yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. ❗CERITA INI MURNI DARI PEMIKIRAN PENULIS. SEMOGA KALIAN SUKA DENGAN CERITA NYA copyright © 202...