Hujan telah sepenuhnya berhenti di Dipatiukur. Dari dalam mobil sang Papa, Raya melongokkan kepala ke luar jendela. Menonton lalu-lalang orang-orang di trotoar jalan. Dipatiukur masih sama ramainya seperti yang Raya ingat di kepala. Stand dan tenda-tenda pedagang berjajar rapi seperti festival kuliner atau semacamnya. Berjejal di sepanjang bahu jalannya. Banyak macam-macam makanan dan minuman bisa ditemui di sini. Dari dimsum ke bebek bakar ke susu murni, semuanya ada. Dari yang memanjakan lidah nusantara hingga mancanegara, semua tersedia.
Raya duduk tanpa berniat meninggalkan bangku penumpang mobilnya, menyaksikan orang-orang yang terlihat mondar-mandir di luar jendela. Beberapa kebingungan menentukan apa yang mau mereka beli. Beberapa yang lain sudah duduk-duduk santai mengobrol sambil menikmati hidangan yang tersaji. Malam beranjak semakin larut, tapi riuh di sepanjang jalan Dipatiukur belum kunjung surut.
Atensi Raya teralihkan saat pintu mobil dibuka dari luar. Jihan masuk sambil membawa dua kantong plastik susu murni di tangannya.
"Mau?" tawar Jihan sembari menyodorkan satu kantong susu murni hangat rasa cokelat pada sang kakak. Raya menerimanya dan langsung menikmatinya. Enak. Rasanya masih sama seperti yang bisa Raya ingat.
"Itu belinya di tukang sumur langganan kakak," ujar Jihan memberi informasi. Sumur yang Jihan maksud bukanlah sumur tempat menimba air. Melainkan sebuah akronim yang berarti susu murni. "Dulu sering jajan di situ kan, ya, sama doi?"
Raut wajah Jihan tengil saat melontarkan kalimat pertanyaannya itu, membuat Raya ingin mendaratkan jitakan di ubun-ubun kepalanya.
"Papa masih lama?" tanyanya kemudian alih-alih menanggapi keisengan adiknya.
"Masih antri."
Tentu saja. Warung tenda yang Papanya kunjungi itu memang selalu ramai pembeli.
"Ikut antri, gih. Biar ketemu sama Mang Kohar."
Mang Kohar yang dimaksud Jihan adalah pria setengah baya pemilik warung tenda tempat Papanya membeli ayam sambal mangga. Raya mengenal beliau saking seringnya dia berkunjung dulu. Dulu sekali. Bertahun lalu waktu Raya masih bersama orang itu. Berkunjungnya pun dengan orang itu. Raya suka sambal mangga karena orang itu. Dan kenal dengan Mang Kohar juga karena orang itu.
"Say hi gitu, kek, ke Mang Kohar. Halo, Mang, kumaha damang? Meuni awis tepang, nyak? gitu." Ujar Jihan dalam Bahasa Sunda yang artinya kurang lebih; 'Halo, Mang, gimana kabarnya? Udah lama nggak ketemu, ya?'
Raya berdecak mendengar ucapan Jihan dan ekspresi dibuat-buatnya yang menyebalkan.
"Orang Mang Kohar jarang ada di warungnya. Itu pada pegawainya yang kerja." Kilah Raya kemudian.
Memang begitu adanya. Meski dulu hampir setiap minggu menyambangi warung tenda Mang Kohar, tapi tidak setiap minggu juga Raya bertemu beliau. Hanya kadang-kadang, pada hari-hari tertentu ketika beliau ikut melayani pelanggan.
"Jiah, tau-tauan. Mentang-mentang dulu sering kencan ke warung Mang Kohar sama doi."
Sekali lagi, Raya mendengus sebal karena celotehan jahil sang adik. Dia lalu melempar plastik bekas susu murninya yang sudah habis. Sampah itu tepat mengenai wajah Jihan, membuat adiknya itu melayangkan protes.
"Dih, buang sampah sembarangan."
"Udah bener, lah. Buang sampah pada tempatnya." elak Raya sekenanya sebelum merebahkan tubuh di kursinya.
"Wah parah, adek sendiri dibilang tempat sampah."
Raya tak menggubris gerutuan sang adik. Dia ubah posisi tubuhnya jadi menyamping, memunggungi Jihan. Sebelah tangan dan kakinya dinaikkan ke jok mobil, membuatnya tak ubahnya seperti cicak yang nemplok ke dinding. Sungguh bukan gestur yang anggun untuk dilakukan seorang perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
R E N J A N A
Novela JuvenilDi sudut kota Jogja, Mahaka Arraya bertemu Rakata Dyaksa-pemuda Bandung yang begitu saja menarik perhatiannya sejak pertemuan pertama. Kerja semesta membawa keduanya kembali bersinggungan di kota kenang-kenangan. Pertemuan kedua yang kemudian menand...