Prolog

104 12 3
                                    

Bau khas tanah basah usai hujan menguar di indera penciumannya kala kereta api yang membawanya dari rumah—ke tempat yang juga pernah menjadi rumah—sampai pada tujuan terakhirnya. Satu per satu penumpang terlihat turun sambil menenteng barang bawaan mereka. Tapi di tempatnya, Raya masih bergeming. Mencoba menetralkan hati dan pikirannya. Ada berjubel rasa yang kini berkecamuk dalam hatinya; takut, bingung, menyesal, dan banyak bentuk emosi lain yang tak bisa dia jelaskan.

Raya sendiri nyaris tak percaya bahwa masih ada keberanian dalam dirinya untuk kembali ke kota ini. kota yang tidak hanya memberinya banyak kenangan, tetapi juga rasa sakit. Kota yang tidak pernah dia harapkan untuk diinjaknya lagi, akan tetapi kerja semesta tetap membawanya sampai ke mari.

Bandung adalah kota yang indah. Kota yang menyimpan cinta dan impiannya. Kota yang pernah begitu dicintainya, sebelum akhirnya menggoreskan luka yang tidak mudah dia lupa.

"Jangan benci kotanya, benci aja sama orang yang udah bikin lo patah hati di sana."

Begitu teman-temannya selalu berkata. Bukan kota ini yang seharusnya Raya benci, tetapi orang yang sudah membuatnya membenci kota ini.

Terlalu larut dalam kontemplasi panjang membuat Raya luput menyadari kalau sudah tidak ada penumpang di gerbong kereta selain dirinya. Hanya ada seorang petugas kebersihan yang tengah sibuk membersihkan bekas makanan dan sampah yang ditinggalkan penumpang. Raya melongok keluar jendela yang basah karena sisa-sisa air hujan. Sudah petang, Raya menghabiskan waktu seharian di dalam kereta. Badannya pegal dan kebas di mana-mana tapi dia belum mau beranjak dari duduknya—belum siap menghadapi apa pun yang akan menyambutnya di luar sana.

Baru ketika gerbong mulai diisi para penumpang baru, Raya membawa diri menjauh dari bangkunya. Dia himpun napas seperti menghimpun kekuatan untuk menghadapi kenyataan. Rasanya, akan lebih baik jika kereta ini membawanya kembali ke Jogja. Diam di kota istimewa itu selamanya dan mengabaikan fakta bahwa dia perlu bertanggung jawab pada pekerjaannya.

Namun Raya tak punya pilihan lain. Dengan hati yang berat, tekad yang dikuatkan serta doa yang tak berhenti dirapalkan, Raya perlahan beranjak—mengayun langkah menuju pintu keluar gerbong kereta.

Suasana familier lantas menyapanya begitu kakinya memijak lantai stasiun. Bau aroma kopi dan roti khas stasiun yang baru keluar dari mesin pemanggang. Suara para penumpang yang tengah menunggu kedatangan kereta, riuh beradu dengan suara announcer yang menginformasikan keberangkatan. Tak luput juga bunyi lonceng lokomotif yang mengiringi laju kereta api. Semuanya, berlomba-lomba menerobos masuk ke hatinya yang seketika dirundung nostalgia.

Ah, gagal disadarinya betapa ternyata dia merindukan kota dan suasana ini.

Kalau ada yang bilang Bandung adalah kota yang akan selalu kamu rindukan, agaknya siapa pun harus setuju. Hampir 2 tahun lamanya tidak mengunjungi Bandung, Raya bukannya tidak pernah merindukan kota ini. Dia cuma enggan mengingat keberadaannya di peta Indonesia.

Tidak ada yang salah dengan Bandung. Kota ini istimewa. Hanya saja mendengar namanya, membuat Raya kembali mengingat semua hal yang selama ini susah payah dia lupakan. Datang ke kota ini, seperti kembali membuka luka lama yang mati-matian berusaha dia sembuhkan.

Baru saja kakinya menjejak lantai stasiun di kota ini, baru saja semenit dia menghirup udara Bandung kembali, segala kenangan yang pernah dia ciptakan di tanah pasundan ini sudah satu per satu datang menyerangnya yang lemah karena patah hati. Apa bisa Raya berdamai dengan kenangan dan rasa sakit yang selama ini melemahkannya?

R E N J A N ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang