Ini masih sama. Dunia yang sama, dengan orang-orang yang sama pula. Hanya saja, ini tidak seperti novel aslinya. Tidak ada reinkarnasi. Tidak ada regresi. Dan tidak ada pula transmigrasi.
Kali ini, si bajingan kecil Cale Henituse yang merupakan penj...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
. . .
KAKI kurus kecil tanpa alas kaki itu berlari dengan susah payah. Melewati kerumunan orang-orang yang cukup ramai di malam hari. Sesekali, kepalanya menoleh ke belakang, seolah sedang memastikan sesuatu atau tepatnya seseorang.
Napasnya terengah, jantungnya berdebar kencang, telinganya berdengung. Di antara hiruk-pikuk pasar gelap yang mengumpulkan banyak orang dari berbagai macam ras, sosok kecil bertubuh kurus dengan pakaian longgar itu terlihat seperti tidak pada tempatnya.
Kulit putih pucatnya tampak begitu kontras dengan pakaian kotornya yang sama sekali tidak dapat menyembunyikan jejak-jejak kekerasan. Di beberapa bagian, bekas luka serta lebam biru keunguan mengintip. Salah satu pergelangan tangan dan kakinya dililit perban, pun dengan lehernya yang kurus. Ada jejak kecoklatan seperti darah yang jika dilihat lagi, itu telah mengering selama beberapa waktu tanpa perawatan disinfeksi.
Sosok itu memiliki tubuh ringkih, begitu rapuh dan menyedihkan seolah-olah tiupan angin sekecil apapun dapat dengan mudah menerbangkannya ke angkasa. Di wajahnya yang pucat pasi, tampak jelas kecemasan, ketakutan serta tekad untuk melarikan diri dari teror. Entah teror seperti apa, namun tampaknya si kecil ini tengah berusaha untuk menyamarkan keberadaannya meski rambut merahnya yang mencolok tetap menarik perhatian beberapa pasang mata.
Itu merah. Layaknya warna darah. Serupa dengan kelopak bunga mawar yang sedang mekar-mekarnya. Namun, karena penampilannya yang kotor, tak satupun orang yang menghiraukannya seolah-olah dia hanyalah debu.
Tak peduli dengan sekitarnya, sosok kurus kecil itu terus berlari, berlari dan berlari meski kakinya yang telanjang sesekali menginjak atau tersandung sesuatu yang tajam. Keringat menetes membanjiri tubuh kecilnya, napasnya berpacu keras, jantungnya yang berdetak memenuhi telinganya yang tak berhenti berdengung. Perasaan takut yang menyelimuti tak sebanding dengan euforia akan kebebasan yang selama ini ia idamkan.
Sudah sejak lama, dan akhirnya kesempatan itu datang sehingga pikiran untuk berhenti hilang begitu saja. Selelah apapun dia, dia tidak akan melewatkan kesempatan yang mungkin tidak akan datang untuk yang kedua kali. Jadi, tanpa menghiraukan rasa lelah, dia memaksakan dirinya untuk berlari meski kerikil-kerikil tajam menggores telapak kakinya yang kini mulai berdarah.
Kemana? Kemana aku harus pergi?
Menoleh ke kanan dan kiri, mata coklat kemerahan itu bergerak liar. Mencari tempat untuk bersembunyi saat kehadiran mengerikan dari seseorang yang mengejarnya di belakang sudah mulai mendekat.
Gemetar, sosok kecil itu berdiri di antara persimpangan jalan pasar dan beberapa gang gelap.