01 - The Beginning

63 6 0
                                    

Gerimis yang membungkus jalanan kota membuat suhu udara semakin rendah. Lima belas derajat celcius. Aku meletakkan sebelah telapak tanganku pada kaca jendela kamarku yang terletak di lantai 10 sebuah bangunan apartemen. Percaya atau tidak, bangunan ini memiliki lantai yang lebih dari 100, menjulang ke atas. Ujungnya seperti menusuk gumpalan awan hitam di atas sana.

“Bagus sekali, Dalula! Bagus! Lagi dan lagi kau membuat kamar ini seperti kapal pecah!”

Suara Kak Laura yang baru saja memasuki kamarku.

Aku langsung tersentak kaget saat mendengar suaranya yang tiba-tiba muncul begitu saja saat aku sedang asik melamun di pinggir kaca.

“Aku, kan sudah bilang padamu untuk tidak mengacak kamar lagi!”

Aku menyengir kikuk padanya sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Kak Laura berkacak pinggang, menatap sebal padaku.

“Hehe, i-iya, nanti aku rapikan lagi buku-buku dan yang lainnya ke lemari,” jawabku, masih kikuk.

Kak Laura memutar kedua bola matanya dengan jengah, “Sore nanti antar aku ke pasar, ya. Kebutuhan makanan kita tinggal sedikit.”

Aku mengangguk pelan sembari mulai merapikan buku-buku, alat eksperimenku, dan hal lainnya ketempat semula.

“Kau sudah membuat daftar kebutuhan kita bulan ini, kan?”

Aku mengangguk sekali lagi, “Aku tempel dipintu kulkas.”

“Bagus, aku mau mandi dulu sekarang.” Kak Laura pergi menuju kamarnya.

Kami tinggal disebuah unit apartemen yang tidak terlalu besar, namun nyaman. Kalau kalian pikir Kak Laura adalah saudariku, kalian salah. Kami berasal dari keluarga, dan orang tua yang jelas berbeda. Kak Laura bukan orang Indonesia walau sudah jadi WNI. Jadi, aku harus bicara bahasa Inggris setiap bicara dengan Kak Laura atau orang tua kakak angkatku itu. Tapi walau begitu, aku tetap memanggil Kak Laura dengan sebutan "Kakak/Kak Laura". Seperti yang sudah kalian tahu, namaku Dalula atau ya, nama lengkapku adalah Dalula Mubsira. Usiaku akan segera menginjak lima belas tahun, tepatnya dua minggu lagi, tanggal satu Januari. Aku berambut panjang kecoklatan, berombak, dan punya poni tipis. Tinggi badanku rata-rata, seperti kebanyakan remaja perempuan Indonesia pada umumnya.

Yaps, aku juga berasal dari Indonesia. Asli keturunan WNI. Bogor, Jawa Barat lebih tepatnya.

Dua minggu lalu, aku baru saja lulus jenjang SMP. Tamat dengan nilai sempurna. Sebenarnya, kelulusanku itu dipercepat, sih. Seharusnya aku ikut ujian kelulusan bulan Juni tahun depan, namun karena Kak Laura meminta pihak sekolah agar meluluskan ku lebih cepat, jadi dipertengahan semester, aku melaksanakan ujian akhir sendirian. Selama dibangku SMP pula aku lebih suka menyendiri, dan mengamati banyak hal. Temanku pun hanya itu-itu saja, sesama perempuan. Aku bukan anak yang aktif di sekolah, apalagi populer. Dan mungkin, saat dibangku SMA nanti juga aku akan tetap seperti itu. Aku tidak mudah bergaul dengan orang baru, lebih tepatnya, aku cukup pemalu.

Tapi, ada satu hal yang unik sekali dalam diriku. Kata Kak Laura, orang tuaku pasti akan bahagia sekali kalau tahu bahwa aku sudah tumbuh sebesar ini. Hal unik ini pula, lah yang mengawali perjalananku mencari kebenaran tentang masa lalu keluargaku. Sebab hingga detik ini, jangankan orang tua, aku saja tidak tahu aku berasal dari keluarga mana. Kak Laura hanya bercerita kalau orang tuaku asli berdarah Indonesia, ibuku adalah guru mengaji, dan ayahku? Aku tidak tahu. Kak Laura tidak pernah menceritakan apapun tentang ayahku sebab dia pun tidak tahu apa-apa tentang ayahku.

Aku lulus ujian sekolah SMP bukan tanpa alasan. Kak Laura akan memasukkan aku ke salah satu sekolah akademi terbaik di dunia ini. Sekolah itu akan memulai tahun ajaran barunya awal tahun nanti. Aku tidak tahu kenapa, tapi Kak Laura semangat sekali memasukkan aku ke dalam akademi itu. Saat ini juga, aku sudah mulai ikut seleksi jalur beasiswa dulu. Syukur-syukur lulus, kalau tidak, Kak Laura yang akan membiayai sekolahku di akademi itu atau mungkin dia akan memasukkan aku ke akademi lain yang serupa, hanya beda tempat dan nama saja. Seleksi ini dilaksanakan kurang lebih selama dua minggu. Kalau aku lolos fase pertama, diminggu pertama, aku akan pergi ke Australia untuk ikut seleksi langsung. Biaya hotel dan lainnya ditanggung pihak akademi-karna jalur beasiswa. Paling hanya biaya ongkos pesawat saja yang tidak gratis. Yeah, semoga saja aku lulus seleksi, deh. Sayang juga, kan aku sudah membela-belakan ujian akhir lebih cepat satu semester untuk bisa masuk akademi itu. Masa ia harus gagal? Harusnya aku ikut seleksi saat usia enam belas tahun, tapi Kak Laura bilang tidak apa-apa, dipercepat saja katanya.

Dalula DelugaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang