Aku sendirian di taman tempat Mr. Julian menyuruhku dan teman satu timku berkumpul. Memperhatikan dengan sesama kalung berliontin bulan dan bintang yang selalu aku kenakan sejak terakhir kali aku mengingatnya.
Aku tidak tahu pasti darimana asalnya kalung ini. Kak Laura hanya bilang kalau kalung ini ada sejak pertama kali dia bertemu denganku, saat usiaku tiga tahun. Tepatnya saat seorang pria menitipkanku pada orang tuanya. Siapa pria itu? Apa dia adalah ayahku? Kalau iya, berarti kalung ini adalah peninggalan orang tuaku? Aku selalu bertanya pada Kak Laura soal orang tuaku lebih lanjut. Tapi dia selalu menjawab kalau dia tidak tahu apapun. Entah sungguhan tidak tahu atau memang sengaja ada yang ditutupi dariku. Aku hanya ingin tahu siapa orang tuaku, dan latar belakang keluargaku, juga kenapa aku harus dititipkan pada orang lain. Tapi aku belum mendapatkan petunjuk apapun hingga detik ini.
Aku menghela napas pendek. Menundukkan kepala, menatap rerumputan sembari merenung. Bagaimana caranya agar aku bisa menjawab semua pertanyaan-pertanyaan itu? Rasa penasaran itu. Aku butuh kejelasan. Aku sudah besar. Bukan anak kecil lagi. Aku harus tahu siapa orang tuaku dan latar belakang mereka.
“Sudah siap untuk latihan pertama, Dalula?”
Suara Mr. Julian cukup mengejutkanku. Refleks, aku menoleh ke belakang dan mendongkak.
“Kau sendirian di sini? Ini masih jam istirahat. Kau bisa datang ke sini bersama teman-temanmu setengah jam lagi,” lanjut Mr. Julian .
Aku menggeleng pelan. Lebih baik di sini. Sepi, damai, sejuk-karna lokasinya memang di hutan buatan milik MOA yang asri dan rindang.
“Sedang apa sendirian di sini saja? Melamun?” Mr. Julian duduk tidak jauh dariku. Membuka laptopnya, entah mengerjakan apa.
“Tidak ada,” jawabku, pendek. Jemariku mulai memainkan rumput hijau. Bosan.
Lima menit berlalu tanpa ada aktivitas apapun selain Mr. Julian yang sibuk dengan laptopnya, dan aku dengan rumput. Tanpa aku sadari, kalau diam-diam Mr. Julian berkali-kali memerhatikan kalungku dengan ekor matanya.
“Laura bilang, kau lulus sekolah menengah lebih cepat?” Mentor itu membuka basa-basi.
Aku mengangguk pelan, “Biar aku bisa segera didaftarkan dan masuk MOA tahun ini.”
“Usiamu lima belas, kan?”
“Iya.” Aku menjawab setengah malas. Rasa bosan ini membuatku sedikit frustasi. Tapi sudah terlanjur nyaman berada di sini.
“Bagus. Kau mendapat point paling tinggi di kelasmu, Dalula .”
Hah?
Aku menoleh tak paham pada Mr. Julian yang masih sibuk berkutik dengan laptop.
“Aku sedang membuat daftar point kau dan anggota timmu yang lain, dan kau dapat point paling tinggi di kelas tadi. Mata pelajaran matematika,” jelas Mr. Julian .
Aku hanya tersenyum kecil menyikapi hal itu. Syukurlah.
“Hebat, Lucy juga mendapat point paling tinggi di kelasnya, mata pelajaran matematika. Pointmu dan Lucy selisih sedikit. Lebih tinggi Lucy kalau ditim kita.”
Aku mengedik santai. Tidak masalah. Aku tidak mau bersaing dengan siapa pun. Sampai waktunya suara bel memenuhi penjuru MOA, tanda kegiatan belajar mengajar kembali dimulai dan waktu istirahat telah usai.
Sembilan temanku yang lain sudah bergabung denganku dan Mr. Julian di taman tempat kami akan melanjutkan pelajaran.
Hingga pukul tiga sore, bel istirahat ketiga pun berbunyi. Aku langsung bergegas menuju asrama. Mencuci wajah, kaki, dan tanganku. Salah satu hal yang sebenarnya menjadi kendala sekaligus membuatku bersyukur adalah jadwal ibadahku, juga beberapa teman sesama muslimku di MOA. Di sini, disalah satu gugusan kepulauan Pasifik, tidak terlalu jauh dari Selandia Baru, waktu sholat jelas memiliki perbedaan dengan di Indonesia. Tapi untungnya, MOA sudah mengatur itu semua. Dari update jam sholat setiap harinya, juga tempat ibadah khusus. Bukan hanya muslim saja, sih. Ada tempat ibadah agama lain juga. Setidaknya, meski tidak terlalu besar, tapi sangat nyaman dan cukup untuk kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalula Deluga
Teen Fiction{ The Moon Is Fall To Me } *Start : 06 September 2023 and still continue ~~