part 10 masa lalu yang kelam

174 31 4
                                    

Pagi menyapa hari, Atha terbangun menatap lampu apartemen yang gelap. Ia segera membuka tirai dengan wajah datar.

Mata itu menyorot balkon dengan wajah hampa, ia berjalan membuka jendela dan duduk memandangi balkon.

Helaan nafas keluar dari bibir tipis Atha, ia sudah berjanji untuk diam di rumah karena Gavin pergi ke kampus.

Atha menumpu dagunya dengan kedua tangan yang ia lipat menatap gedung-gedung yang begitu besar dan tinggi.

"Atha kangen..."isakan itu keluar begitu saja dari bibirnya.

Ia meneteskan air matanya dengan nafas yang tiba-tiba sesak, ia benar-benar begitu lemah saat ini. Tangan bergetar dengan bibir yang ia gigit begitu kuat menghentikan tangisan yang keluar ingin menerobos.

Perlahan tubuh ringkih itu jatuh begitu saja dengan tangan yang memegang kuat pada pembatas balkon.

Pikirannya kembali melayang, tatapan kebencian yang di tunjukan oleh sang Ibu berhasil membuat jiwanya benar-benar hancur.

Atha menghela nafasnya sambil mengusap air matanya yang terus keluar tanpa henti, mengapa nasibnya begitu tragis? Ia hanya ingin menjadi diri sendiri namun mengapa nasib tak mendukungnya?

Ia berjalan menuju kasur dan membaringkan tubuhnya, matanya terlihat begitu sembab.

Mata berputar menatap sekeliling kamar apartemen dengan wajah hampa, bisikan-bisikan bersautan memintanya untuk pergi selamanya namun hatinya bersikeras tak ingin Atha terpuruk dalam keadaan.

Tubuh ringkih Atha segera duduk menatap televisi dengan wajah hampa.

Tangannya bergerak menekan tombol untuk menyalahkan televisi tersebut, saluran televisi mulai berputar menunjukan angka-angka di pojok kanan atas bersebrangan dengan chanel televisi.

Mata indah itu fokus menatap layar televisi hingga ia menemukan chanel yang begitu ia penasaran.

Karater kotak berwarna kuning dengan segudang kekonyolannya dapat membuat Atha melupakan sebentar kesedihannya.

Ia tertawa pelan saat bintang laut berwarna pink terjatuh dengan tidak ramah, tawa lepas mulai terdengar Atha benar-benar dapat tersenyum.

Luka dihatinya dapat sedikit mereda, setidaknya luka itu tak akan berubah menjadi lebih buruk lagi.

Atha terdiam sebentar melihat jam di dinding, ia kembali menatap televisi karena waktu begitu sangat panjang.

Tak terasa acara kartun kuning itu berakhir bersamaan dengan Atha yang tertidur pulas.

Mata lelah itu memejam dengan air mata yang masih mengalir, bibirnya yang sedikit terbuka pertanda ia lelah dan hidung tersumbat akibat menangis.

.........

Gavin menghela nafasnya, ia melempar buku mata kuliahnya dengan wajah murka, mata tajam itu menyorot salah satu mahasiswi yang terlihat begitu ketakutan.

Gavin mendekati mahasiswi itu dan memojokkannya dengan mata membara.

"Dunia kita berbeda Alea! Jangan!! Buat gue murka karena sikap tolol lo itu! Paham!?"kesal Gavin penuh penekanan.

Cowok berwajah datar itu segera memukul dinding dengan begitu keras meninggalkan bunyi pada dinding yang menyebabkan tembok kokoh disekitarnya bergetar.

Alea perlahan terjatuh dengan mata berkaca-kaca, detak jantungnya berderu begitu cepat saat tatapan tajam menyorot begtu mengerikan.

"Denger ya jangan buat gue semakin kesel sama tingkah elo!"tekan Gavin membuat Alea memeluk erat tubuh Gavin.

"ALE~!!!"teriak Gavin namun ucapannya harus terhenti saat suara isakan itu keluar dari mulut Alea.

Gadis cantik dengan penuh drama itu berhasil membuat Gavin bungkam.

Mata tajam itu berputar kearah lain untuk meredam amarah yang membara dihatinya

Gavin terdiam melirik kearah cowok bertubuh pendek dengan wajah kesal.

"Mampus kau!"umpat cowok-Riki itu mengepalkan kedua tangannya dengan wajah penuh dendam.

"Rik!"teriak seorang gadis penuh semangat, ia langsung berlari dan memeluk erat tubuh Riki.

Riki mendengus sebal, ia melirik malas dan segera pergi dari sana.

Gavin melirik sebentar, ia segera pergi dari sana meninggalkan Alea yang tersungkur akibat di dorong oleh Gavin.

Cowok bermata indah itu melesat menuju kelas dengan wajah sebal.

''Gedek gue liatnya!"kesal Gavin sambil melipat kedua diatas meja, Gavin mengotak-atik layar ponselnya, matanya segera mencari keberadaan nomor Atha, ia sengaja memberikan ponselnya untuk anak itu agar dapat menghubunginya sewaktu-waktu.

"Atha?"panggilan terjawab namun tak ada balasan pada bocah berkulit putih itu.

Hanya terdengar suara tangisan dari sebrang panggilan, Gavin seketika terdiam ia menatap layar ponsel itu dan pergi dari sana.

Gavin menaiki motornya dan segera melesat dari sana.

Pikirannya melayang terhadap Atha, ia khawatir jika terjadi sesuatu pada anak itu.

Gavin berlari menuju lift, dengan secepat kilat cowok berparas tampan itu membuka pintu apartemen.

Tubuhnya terdiam di tempat dengan tangan masih memegang gagang pintu apartemen.

"Cil?"panggil Gavin menatap yang tertidur lelap di depan tv, kelopak matanya terlihat begitu sembab dengan isakan pelan yang keluar begitu saja.

Gavin segera duduk diujung kasur dengan wajah tenang, ia mengelus rambut Atha dengan pelan.

Rambut kasar itu terlihat begitu kaku hingga membuat Gavin menatapnya dengan wajah lekat.

Atha begitu terlihat lelah dan depresi karena traumanya yang masih memutari otaknya, ia paham betapa beratnya menahan semua rasa sakit yang ia alami selama ini, menatap jari-jari mungilnya yang hilang akibat penyiksaan.

Cowok berwajah tampan itu menatap lekat wajah Atha, ia memegang tangan Atha dengan pelan dan mengelusnya.

Tubuh ramping Atha perlahan melayang saat Gavin mengangkatnya dan memindahkannya, ia menyelimuti Atha dan segera beranjak menuju balkon.

Tatapannya penuh kesedihan yang amat mendalam, bagaimana bisa anak sekecil itu harus merasakan ujian yang begitu berat, perlahan cowok itu mengangkat kepalanya menatap langit dengan tatapan kosong.

"Tuhan, ini terlalu berat untuknya, dia begitu kecil untuk menghadapi takdir yang mengerikan. Betapa dia sangat trauma dengan kejadian ini, mengapa dia begitu diuji seperti itu tuhan..."lirih Gavin menahan nafasnya beberapa detik.

Ia menghembuskan nafas itu dengan pelan sambil menengok kearah Atha, cowok itu segera duduk di tempat tidur dan segera membaringkan tubuhnya.

Matanya tak henti-hentinya menyorot kearah Atha sambil sesekali memeluk erat tubuh anak itu.

Ia sangat menyayangi Atha hingga lupa Gavin hanyalah pendatang yang tau menau tentang jati diri Atha.

Yang terpenting olehnya adalah Atha dapat aman bersamanya.

....



mengapa aku dilahirkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang