Awali Ini Semua Dengan Aku

4 0 0
                                    


Aku tidak akan menyebut ini sebagai novel, biografi atau apapun menurut para pengamat dan pembaca disana. Aku menganggap catatan ini hanya sekedar buku harian untukku. Buku harian mengenai kisah-kisahku dan tumpahan rasa kecewaku selama ini.

Ini Aku, seorang perempuan yang berada dalam fase dewasa muda. Usiaku baru menginjak kepala dua, namun entah mengapa terlalu banyak kekecewaan yang aku rasakan sejak kecil. Sedikit tentangku, aku adalah anak perempuan yang tumbuh tanpa ayah sejak usia satu tahun, ibuku seorang orangtua tunggal, dan lebih buruknya aku mempunyai dua saudari perempuan dari dua ayah yang berbeda denganku yaitu, kakak serta adikku. Iya, aku seorang anak tengah.

Tumbuh tanpa sosok ayah dalam hidup membuat aku dikucilkan baik oleh para sepupu dan teman-teman. Hidup dengan orang tua tunggal serta seorang kakak dan adik juga tidak lebih baik, semua barangku lungsuran dan sumbangan dari orang lain.

Masih hangat diingatanku, usiaku baru lima tahun saat itu. Kami masih hidup bersama dengan yang lain sebagai keluarga besar dibawah atap rumah nenek. Terdiri dari Nenek, Ibuku, aku, Kakakku, Adikku, lima sepupu laki-laki dewasa, seorang sepupu laki-laki seusiaku, seorang sepupu perempuan dengan usia dua tahun dibawahku, dan dua pasangan paman-bibi selaku orang tua para sepupuku. Sedangkan Kakek sudah meninggal sejak aku berusia tiga tahun.

Nenekku merupakan orangtua yang sangat protektif pada anak dan cucunya, bahkan kami dilarang pergi keluar rumah jika tidak ditemani orang dewasa atau pergi keluar bersama dengan sepupu lain, jika ketahuan keluar tanpa izin, maka kami akan dihukum tidak diizinkan keluar rumah sama sekali.

Aku yang anak kecil sudah pasti hanya bermain dirumah dengan kedua sepupuku yang masih kecil juga yaitu, sepupu laki-laki seusiaku, dan sepupu perempuan dua tahun dibawahku, sebut saja namanya Fajar dan Rina.

Siang itu, seperti biasa kami bertiga bermain diruang keluarga dan Nenek memasak didapur yang jaraknya cukup jauh dari ruang keluarga, sedangkan orang dewasa yang lain pergi bekerja dan sekolah. Aku ingat kami bertiga bermain masak-masakan dan pistol mainan, semua mainan itu milik sepupuku. Sedangkan aku sendiri tidak pernah punya mainan karena ibuku tidak pernah punya uang untuk itu, kecuali untuk makan dan pendidikanku.

"Kamu jadi pembeli lagi aja, aku jadi penjual lagi." ucap Rina dengan lidah cadelnya.

"Kamu kan udah jadi penjual, sekarang gantian aku yang jadi penjual." kataku kesal.

"Gamau, kamu jadi pembeli lagi." katanya lagi memaksa.

Aku dan Rina sedang bermain permainan warung di lantai sementara Fajar, sepupu laki-lakiku, duduk di atas sofa sambil asik menembak apapun yang dilihatnya menggunakan pistol mainan yang bisa berbunyi saat ditarik pelatuknya. Dia bahkan tidak memperhatikan aku dan Rina yang sedang bertengkar.

Aku merasa kesal terhadap Rina. Aku selalu diajari untuk bersikap adil dan tidak egois oleh ibuku. Mendengar Rina berbuat curang membuat aku semakin kesal, dan dengan tegas aku berkata, "Kamu gak boleh curang, sekarang bagian aku jadi penjual."

Saat itu, aku berpikir bahwa dia adalah anak berusia tiga tahun yang sangat menjengkelkan, manja, dan egois. Walaupun dia adalah seorang anak kecil, dia tidak seharusnya pelit dan seharusnya mau berbagi. Lagipula, mainannya bukan masalah besar, dia bisa bermain kapan saja, dan bahkan dia bisa meminta mainan yang lebih bagus dari kelima kakaknya atau dari orang tuanya.

Dia terlihat marah, alisnya tertekuk, pipi gembulnya mengembung, dan wajahnya memerah. Tiba-tiba, dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melempar kompor mainan dengan keras, hingga mengenai jidatku dan berbunyi 'tukk'.

"Lagian ini mainan aku, kamu gak boleh ikut main lagi!!" teriaknya sambil menangis keras.

Kedua tanganku mengusap jidatku yang terkena lemparan. Walaupun mainan itu kecil, tapi dia melemparnya dengan cukup keras sehingga jidatku memerah. Aku menahan tangisku dan rasa sakit di kepala, tapi mataku sudah berkaca-kaca. Lagipula, aku harus menghentikan tangis Rina, atau dia akan pergi mengadu pada ibunya, lalu ibunya akan mengadu pada ibuku, dan aku akan berakhir dengan pukulan sapu lidi.

"Ya udah, kamu aja jadi penjual aja terus aku jadi pembeli," Ucapku "Udah jangan nangis lagi." lanjutku membujuk.

Namun, sepertinya sudah terlambat. Tangisannya semakin keras, dan dia terus melemparkan mainan-mainannya ke arahku. Aku mundur dan berusaha menghindari mainan-mainan tersebut dengan tangan. Aku juga mendengar suara tawa Fajar di antara tangisan Rina.

"Hayolohh Rina nangis gara-gara kamu." ejek Fajar. "Hayolohh."

Tak lama aku sudah tidak merasakan apapun dilempar padaku, tapi tangisan Rina masih terdengar. Nenek datang melihat ruang keluarga yang sudah berantakan oleh mainan Rina,

"Aduhh, ada apa ini?!" tanya Nenek dengan suara khawatir sambil meraih Rina kedalam gendongannya.

"Tuh, Nek, gara-gara dia Rina jadi nangis." adu Fajar sambil menunjukku yang masih duduk dilantai, mengusap air matakku yang berkaca-kaca tanpa suara.

"Aku gak ngapa-ngapain, dia yang curang." bela ku dengan suara serak karena menahan tangis.

"Bohong. Lagian, itu mainan Rina.Makanya beli mainan sendiri minta sama bapak kamu, bapak kamu kan polisi katanya, tapi aku gak pernah liat bapak kamu." sahut Fajar.

Mendengar itu aku tidak bisa menahan lagi tangisku, dan mulai menangis dengan kencang. Nenek yang melihat aku menangis dan Fajar yang terus mengolok-ngolokku mulai pusing, lalu mengajak Fajar serta Rina ke dapur, memisahkan dariku agar tidak ada pertengkaran lagi.

"Ini nanti beresin lagi ke tempatnya, biar gak rusak. Abis itu langsung ke lantai atas." ucap Nenek dengan nada lembut menyuruhku.

Sayup-sayup aku mendengar suara Fajar berkata, "Jangan main lagi sama dia, dia gak bisa beli mainan sendiri, nanti mainan kamu diambil."

"Hush, gak boleh gitu." balas Nenek pada Fajar dengan suara yang semakin menjauh.

Sambil menangis aku membereskan mainan Rina ke dalam keranjang tempatnya. Beberapa mainan sedikit aku banting ke dalam keranjang karena kesal. Aku selalu diperlakukan begitu ketika main dengan mereka, dan nenek selalu menyuruhku mengalah dengan mereka karena aku dianggap paling mengerti.

Pikiran dan perasaanku saat itu hanyalah, betapa irinya aku pada mereka berdua yang beruntung. Mereka berdua selalu mendapatkan apa yang mereka mau tanpa harus memberikan sesuatu, orangtua mereka berdua lengkap, kasih sayang yang melimpah, baju baru dan barang baru setiap minggu.

Betapa seringnya aku menerima ejekan dan perilaku kasar dari sesama anak kecil yang selalu dianggap sepele oleh orang-orang dewasa disekitarku. Sayangnya, tanpa sadar ejekan itu menimbulkan luka untukku dan membekas semakin dalam seiring dengan aku yang tumbuh dewasa.

Aku yang terluka dan menangis karena ejekan itu, tidak pernah dipeluk atau ditenangkan. Aku diasingkan seakan-akan aku adalah penyebab semua masalah terjadi pada mereka. Orang dewasa menyuruhku mengalah dan memahami anak-anak lain. Mereka memaksaku untuk menyingkirkan ego dan bertindak dewasa, sampai mereka lupa bahwa aku juga anak kecil yang tidak mengerti apapun.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

GETA HASAI.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang