02. Dunia Alfath

201 35 4
                                    

Kepalan di kedua tangannya tak cukup berhasil menghentikan laju amarah yang terlanjur merasuki tubuh milik seorang dokter muda yang bekerja di salah satu Rumah Sakit besar tengah kota.

Berkali-kali perawat di sampingnya meminta maaf untuk sesuatu yang sebetulnya bukan kesalahannya.

"Saya tidak berani membantah, petinggi Rumah Sakit yang meminta untuk memberikan keterangan palsu pada keluarga korban," jelas si perawat untuk kesekian kalinya.

"Di mana hati nurani mereka? Saya tidak habis pikir, bagaimana perasaan keluarga korban saat mendengar berita ini! Anak mereka tewas dianiaya, namun pihak rumah sakit justru merekayasa hasil autopsi. Benar-benar memalukan!"

Perawat itu tetap bergeming. Kepalanya menunduk takut, tak berani bertatapan langsung dengan manik mata sang Dokter.

Mereka berdua kini tengah berada di dalam ruang pribadi milik sang Dokter. Hawa dingin menusuk kulit yang berasal dari alat pendingin ruangan tak cukup menetralkan hawa panas yang kini menjalari seluruh tubuh si perawat. Wajahnya memerah, terlebih ia juga ikut merasa malu atas tindak petinggi Rumah Sakit yang semena-mena pada keluarga korban.

Suara di ketukan pintu ruangan tersebut berhasil mengalihkan perhatian Alfath, Dokter yang menangani kasus penganiayaan terhadap seorang remaja SMA itu menghentikan rutukannya untuk sementara waktu.

Sang perawat tadi bergegas membuka pintu ruangan dan secara mengejutkan, petinggi yang baru saja Alfath dan perawat itu bicarakan tengah berdiri di ambang pintu sana.

Rahang Alfath mengeras, ingin rasanya ia memukul wajah tua bangka itu yang dengan seenaknya memberikan keterangan palsu tanpa adanya pembicaraan dulu padanya selaku dokter yang bertanggung jawab.

Namun dilihat dari bahasa tubuh dan ekspresi dari petinggi tersebut, sama sekali tidak menunjukkan raut menyesal. Membuat Alfath yang sudah kepalang kesal, menunjuk kasar petinggi Rumah Sakit di hadapannya.

"Bagaimana jika hal ini terjadi pada keluarga Bapak?!" teriak Alfath keras hingga membuat beberapa perawat yang melintas, melirik takut-takut ke arah ruangan tersebut.

"Apakah seperti ini caramu bicara pada seniormu, Alfath?" tegur si petinggi Rumah Sakit bernama Dokter Pudu.

Perawat yang sejak tadi berdiri di samping Alfath dipersilahkan untuk keluar ruangan. Dengan nafas lega, akhirnya perawat itu terbebas dari amukan Dokter Alfath.

Pintu ruangan kembali ditutup. Dokter Pudu kemudian berjalan pelan mengitari ruang kerja Dokter Alfath. Beliau melirik ke seluruh sudut ruangan. Pigura-pigura kecil yang memang sengaja diletakkan di atas meja, tumpukan berkas milik rekam medis pasien dan beberapa bungkus koyo yang berserakan di samping komputer.

Bosan karena tak menemukan apa-apa, Pudu memilih duduk di sofa empuk di dalam ruangan itu. Kakinya menyilang, kedua tangannya berpangku di atas paha. Sementara tatapannya sama sekali tidak bersahabat.

Alfath menunggu tua bangka itu mengeluarkan kalimatnya.

"Apa yang membuatmu kesal hari ini Alfath?" tanya Dokter Pudu kemudian.

"Mereka bukan keluargamu, lantas mengapa kamu begitu marah dengan skenario kecil ini?" lanjutnya lagi.

Skenario kecil dia bilang?

Jika tak ingat bahwa di hadapannya saat ini adalah senior serta sosok yang dulu amat ia banggakan, mungkin Alfath sudah melayangkan bogem mentahnya ke wajah tua bangka itu. Menyaksikan betapa rakusnya Pudu saat sudah menempati posisi petinggi Rumah Sakit membuatnya jadi gelap mata akan nilai kemanusiaan.

"Hasil autopsi seharusnya bisa membantu banyak dalam jalannya proses hukum saat ini. Dengan hasil autopsi yang sebenarnya, pelaku bisa dengan mudah dijatuhi hukuman. Saya menyesali perbuatan Dokter yang membohongi keluarga korban di luar sana. Mereka berhak mendapatkan keadilan!"

Dengan santainya Dokter Pudu memotong ucapan Alfath, "Siapa peduli? Toh anak itu sudah mati! Tak akan ada yang berubah Alfath, kamu harus tau itu. Lagi pula, hasil autopsi yang sebenarnya tidak akan membantu banyak. Anak itu berasal dari keluarga kaya raya, akan selalu ada celah untuk dia lolos." Dokter Pudu melengos, enggan menatap lama wajah Alfath.

Sekali lagi, Alfath tak percaya ucapan itu keluar dari mulut seorang tenaga medis seperti dia.

Dokter muda itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. Suasana di dalam ruangan kian memanas. Sementara Dokter Pudu tampak masih baik-baik saja.

"Tidak perlu ikut campur dalam urusan orang lain. Kamu cukup fokus pada pekerjaanmu saat ini. Dua tiga tahun lagi posisi petinggi Rumah Sakit akan berganti. Persiapkan dirimu lebih awal!"

Dokter Pudu beranjak pergi. Meninggalkan Alfath yang termenung sendirian di tempatnya. Selangkah lagi Dokter Pudu menghilang dari pandangannya, dengan suara pelan Alfath menjawab kalimat terakhir yang dilontarkan Dokter Pudu.

"Saya tak ingin menjadi seperti Bapak. Jika jabatan membuat saya kehilangan nilai-nilai kemanusiaan, maka lebih baik saya mati!"

***

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Di tempatnya, Alfath hanya mengaduk-aduk nasi di atas piring dengan malas. Nafsu makannya mendadak hilang saat teringat kembali mengenai nasib keluarga korban yang dibohongi oleh pihak rumah sakit.

Dokter Alfath menghabiskan sisa malamnya dengan merenungi hal apa saja yang bisa ia lakukan untuk membantu pihak korban mendapat keadilan. Sudut di dalam hatinya sungguh merasa kasihan, dan sebagai dokter yang menangani langsung si korban, Alfath seperti memiliki ikatan batin tersendiri untuk melawan.

Meja di sampingnya tiba-tiba diketuk. Guntur, perawat yang siang tadi berada dalam ruangannya tengah berdiri dengan membawa nampan berisi piring pesanannya.

"Boleh saya duduk di sini Dokter?" tanya Guntur. Perawat itu sama sekali tidak terlihat takut. Tidak seperti sebelumnya, bahkan dengan melirik saja Guntur tidak berani.

"Ada banyak meja kosong di sini," jawab Alfath mengundang raut sendu di wajah Guntur.

Perawat itu merasa tak enak, hendak berbalik arah dan permisi pada sang dokter. Namun Alfath tertawa, "Duduklah, saya hanya bercanda."

Binar di wajah Guntur kembali terlihat. Dengan semangat dia meletakkan nampan beserta isinya di atas meja.

"Dokter, ada yang ingin saya katakan."

Alfath yang tengah menyeruput minum meliriknya sekilas, "Tentang apa?"

Di tempatnya Guntur terlihat seperti orang yang sedang menimbang-nimbang untuk memberikan informasi kali ini. Sesekali ia melirik ke seluruh kafetaria dan meyakini bahwa tidak ada seorangpun dokter atau perawat yang tengah makan di sana.

Kafetaria itu hanya berisi mereka berdua.

"Tentang keluarga korban, mereka tau bahwa hasil autopsi itu palsu," ucap Guntur berhasil menarik perhatian Alfath di depannya

"Bagaimana bisa?" tanya Alfath kebingungan.

Guntur menghela nafas pelan, sama seperti Alfath ia juga tak terima akan keputusan dari Rumah Sakit. "Ibu dari korban merasa ada sesuatu yang ditutup-tutupi. Ini seperti ikatan batin antara seorang anak dan ibu. Dan yang ingin saya sampaikan, bahwa ibu korban memohon untuk dibantu. Beliau menangis di hadapan saya, saya sendiri tidak tau harus membantu dengan apa?"

Selama Guntur bercerita, sudut di dalam hati Alfath kembali tersentil. Apakah ia harus membantu ibu itu dan mempertaruhkan pekerjaannya? Atau Alfath hanya harus mengikuti saran dari Dokter Pudu untuk fokus pada dirinya sendiri? 

Cukup lama mereka terdiam, Guntur sudah mulai menyuapi nasi-nasi itu ke dalam mulutnya.

Ditengah kebimbangan itu, Alfath akhirnya memutuskan suatu hal yang ia sendiri masih tak yakin bagaimana dampaknya di kemudian hari, "Masih ada satu cara. Saya tak bisa melakukannya seorang diri, Guntur, bantulah saya."







Dunia GayatriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang