Behind the Page - PROLOGUE

8.2K 1.2K 93
                                    

Naik, naik ke puncak gunung
Tinggi, tinggi sekali

Kiri, kanan, kulihat saja
Banyak pohon cemara ...

"Jadi sebenarnya bintang jatuh itu nggak ada ya, Yah?"

Pria yang berada di balik kemudi terkekeh. Ia sempat bersitatap dengan istrinya untuk beberapa saat sebelum akhirnya melirik ke arah rear-view mirror. Dari pantulan kaca itu, si anak terlihat antusias. Sesekali dia menatap takjub ke arah pepohonan, juga pada rinai hujan yang menetes pada jendela mobil.

"Nggak ada, Sayang," jawabnya lembut. "Berdasarkan ilmu astronomi, fenomena bintang jatuh muncul ketika ada benda langit seperti meteorid, asteroid, debu atau partikel angkasa yang tertarik masuk ke dalam Bumi akibat adanya gaya gravitasi. Yang kelihatan seperti bintang jatuh itu sebenarnya cuma serpihan meteor."

"Jadi berdoa saat ada bintang jatuh juga nggak bener ya, Bu?" Anak itu masih terus bertanya. Seolah ada banyak sekali hal-hal yang membuatnya penasaran, dan di momen ini, dia ingin menumpahkan rasa penasaran itu. Dia ingin tahu lebih banyak hal soal benda-benda angkasa. Sebab kata Bastian—temannya di sekolah, bintang jatuh itu benar-benar ada.

Sama seperti suaminya, perempuan di kursi depan terkekeh. Gemas bukan main pada anaknya yang duduk di belakang. Sejak ayahnya berkata bahwa mereka akan pergi menyaksikan hujan meteor, dia tidak henti-hentinya bertanya soal luar angkasa, dan itu benar-benar membuatnya kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

"Ingat nggak kata Ibu kemarin? Berdoa hanya kepada siapa?"

"Tuhan!"

"Betul! Hebat sekali anak Ibu!"

Di pertengahan Agustus yang seharusnya panas, mereka melakukan perjalanan ke Puncak. Menurut berita yang beredar, akan ada hujan metor yang berlangsung di awal Agustus. Polusi cahaya di Kota Jakarta jelas tidak memungkinkan bagi mereka untuk menyaksikan hujan meteor tersebut, jadi mereka memutuskan untuk pergi ke tempat yang cukup jauh dari peradaban kota.

Tetapi Agustus kala itu tidak sesuai dengan apa yang mereka perkirakan. Hujan deras berlangsung sepanjang perjalanan. Tetapi karena sebentar lagi mereka akan menyaksikan hujan meteor secara langsung untuk pertama kalinya, mereka masih cukup antusias—terutama anak mereka yang duduk di kursi belakang. Jadi sepanjang perjalanan yang suram dan berkabut, mereka mengakalinya dengan bernyanyi. Lagu naik-naik ke puncak gunung itu adalah salah satunya.

"Ramalan cuaca nggak bilang kalau hari ini bakalan hujan. Sampai di sana nanti masih mendung nggak ya? Kalau mendung, hujan meteornya pasti nggak kelihatan," keluh si laki-laki. 

Sama seperti warna langit hari itu, ekspresinya nampak muram. Jadi sepanjang perjalanan dia hanya mampu berharap, semoga hujan lekas reda dan mereka bisa menyaksikan hujan meteor dengan jelas nanti malam. Bagaimana tidak, dia sudah merencanakan perjalanan ini jauh-jauh hari. Dia sampai meninggalkan semua kesibukannya di kantor demi menyenangkan anak dan istri tercinta. Semuanya akan sia-sia kalau mereka tidak berhasil menyaksikan hujan meteor tersebut.

"Anggap aja kita lagi liburan. Besok kita bisa jalan-jalan, lihat kebun teh," jawab perempuan di sampingnya. Sebelah tangannya bergerak perlahan-lahan ke arah perutnya yang sedikit membuncit. Maklum, menginjak trimester kedua, ada saja gangguan kehamilan yang dia alami. Hari ini tidak merasa mual dan pusing saja sudah syukur.

"Kenapa? Pengen muntah?"

Sejenak, perempuan itu menggeleng. "Nggak, cuma agak kram aja. Kayaknya gara-gara duduk terus dari tadi."

"Sabar ya, bentar lagi sampai kok." Ada tatapan yang begitu menenangkan dari sepasang matanya. Juga senyum hangat yang lahir dari bibirnya.

Bagi laki-laki itu, rasanya seperti keajaiban memiliki keluarga kecil yang bahagia seperti ini. Memiliki istri yang cantik, dan anak yang cerewetnya bukan main. Terlebih, mereka sedang menunggu kelahiran anak kedua. Perempuan cantik yang sedang menggenggam tangannya saat ini telah memberikan kehidupan yang luar biasa. Jadi, mustahil baginya untuk menyia-nyiakan harta seberharga itu.

Dalam perjalanan itu, segalanya terasa baik-baik saja. Anak mereka masih bernyanyi dengan riang, sambil sesekali bertanya perihal kapan adiknya akan lahir. Namun, suasana terasa tidak lagi sama setelah mereka melewati tikungan. Di ruas jalan yang berkabut itu, sebuah cahaya muncul dari kejauhan. Mulanya nampak samar, namun lama-kelamaan, cahaya tersebut nampak semakin terang.

"Mas, truk itu kenapa jalan di kiri terus ya?" tanya si perempuan. Sementara si laki-laki juga tidak mengerti. Dia pikir, truk di kejauhan itu berada di jalur kiri setelah menghindari sesuatu. Tetapi semakin dekat jarak di antara mereka, truk itu tidak juga kembali ke jalur kanan.

Hal tak terduga terjadi setelah itu. Truk dari arah berlawanan itu tiba-tiba saja melaju lebih kencang. Laki-laki itu berniat membanting kemudi ke arah kanan, namun jarak yang terlalu dekat membuatnya tidak memungkinkan untuk menghindar. Dari jalan yang menurun, truk tersebut tergelincir. Menabrak mobil yang mereka tumpangi hingga terseret hampir 10m sebelum akhirnya berhenti karena menghantam tebing yang berada di sisi jalan.

Di hari berhujan itu, lagu naik-naik ke puncak gunung tidak terdengar lagi. Suasana temaram terasa semakin suram saat darah-darah mereka mengalir mengikuti rinai hujan. Angin kencang menyambut duka yang berlangsung. Agustus tahun itu, hujan meteor tidak terlihat. Keberadaannya dikepung hujan kesedihan. Juga tebing curam bernama perpisahan.

"Ayah, kita jadi lihat hujan meteor, kan?"

Sayangnya, tidak ada jawaban atas pertanyaan lirih itu.

—Behind the Page | Prologue

Behind the Page (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang