Behind the Page - 3

4K 619 43
                                    

Suara ketukan pintu terdengar cukup keras. Devian merasa tidak perlu mempersilakan orang tersebut untuk masuk. Karena tanpa perintah sekali pun, seseorang di balik pintu tersebut sudah menampakkan batang hidungnya. Seperti hari-hari biasanya, Radhit berdiri di seberang meja. Sementara di tempat duduknya, Devian menatap lekat mawar merah muda segar yang tiba-tiba saja ada di ruangannya. Nishina tidak pernah menaruh rangkaian bunga apa pun dalam ruangannya, tetapi di hari pertama kerjanya, Sarah melakukannya.

"Radhit ..."

"Iya, Pak?"

"Hari ini saya ada janji makan siang dengan Patricia."

"Iya, saya tahu, Pak."

Detik berikutnya, Devian melirik dengan tatapan bengis. Dia agak tidak percaya bahwa Radhit akan setolol itu dalam menterjemahkan maksudnya.

"Gantikan saya untuk makan siang dengan Patricia."

Sudah Radhit duga sebenarnya. Dia yang menerima janji yang diajukan Patricia, tetapi pada akhirnya dia juga yang kena imbasnya. Radhit merasa bahwa keberadaannya selalu serba salah. Jika dia tidak menerima jadwal temu dari Patricia, dia akan dicabik-cabik oleh Kinanti. Tetapi jika dia menerimanya, maka Devian lah yang akan mencabik-cabiknya seperti daging cincang.

"Kamu sendiri, kan, yang membuat janji itu?" sarkas Devian, dengan senyum tak kalah picik di akhir kalimatnya. Siapa suruh Radhit membuat janji pertemuan seenaknya?

"Pak, Bapak cuma makan siang lho. Bukan mau berangkat wajib militer."

"Nah, itu. Cuma makan siang, kan? Jadi kamu aja yang pergi. Jangan lupa makan enak dan posting makanannya di sosial media. Kapan lagi kamu makan di restoran fancy?"

Sialan! Dia pikir cuma dia doang yang mampu makan di restoran fancy?! Tetapi alih-alih makian tersebut, Radhit hanya berkata, "Bapak nggak kasihan sama saya?"

"Untuk apa?" dengus Devian, semakin membuat Radhit tak berdaya.

"Bapak nggak ingat terakhir kali saya digampar sama Bu Kinan gara-gara Bapak nggak datang di jamuan makan malam bersama keluarga Baskoro?"

"Oh ya? Kamu pernah digampar ibu saya? Kapan itu?"

Jengah, Radhit melepaskan jas dan dasinya dengan membabi buta. Jika kedua atribut tersebut tidak melekat di tubuhnya, berarti dia bukan bagian dari Dhanoe. Dia bisa berbuat seenaknya, termasuk membanting Devian detik itu juga. Tetapi tidak, membanting Devian bukan ide yang bagus. Karena anak itu adalah aset berharga perusahaan. Juga menjadi salah satu orang yang memberinya gaji cukup tinggi di perusahaan.

"Gue punya batas kesabaran ya, Devian!" pekiknya.

Mendengar itu, Devian hanya tersenyum. Laki-laki itu masih sibuk membaca pasal-pasal perjanjian di hadapannya. Seolah ucapan Radhit hanya lelucon di pagi hari. Apalagi saat laki-laki itu berkacak pinggang setelah melepaskan dasi dan jasnya. Jangan lupakan juga matanya yang melotot.

"Semua orang punya batas kesabaran, Radhitya. Termasuk saya." Setelah mengatakan itu, Devian mendongak. Menatap obsidian Radhit dengan lekat. "Menurutmu, apa yang akan saya lakukan ketika batas kesabaran saya habis?"

Sayangnya, Radhit tidak memiliki keberanian untuk membantah lebih jauh. Sebab apa yang dikatakan laki-laki itu benar. Radhit sendiri saksinya. Dari dulu hingga sekarang, nyaris tidak ada manusia yang bisa mengendalikan kesabaran sebaik itu selain Devian. Laki-laki itu lebih banyak mengalah alih-alih memperjuangkan keinginannya sendiri. Di atas kedua pundaknya yang kokoh itu, ada beban berat yang dia bawa bahkan ketika usianya masih begitu muda. Jadi ketika Devian bertanya demikian, Radhit tidak berani menjawab.

Behind the Page (ON HOLD)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang