Rutinitas

68 13 1
                                    

Sunghoon akui kehadiran Jake dalam hidupnya cukup memberi warna ditengah melelahkannya mengasosiasikan diri di lingkungan baru, cukup terhibur ia oleh sosoknya yang akan selalu bersemangat mendengarkan apapun yang dikatakan ia, meski itu hal bodoh sekalipun. Jake akan selalu mendengarkan omong-kosongnya, tanpa meminta imbalan ketika semua orang berbalik karena dia membosankan.

Dalam buku prioritasnya, pertemanan bukan yang utama, mengenyampingkan bahwa manusia adalah makhluk sosial. Dia pikir dilahirkan sendiri saja sudah lebih dari cukup memberitahu ia bahwa hidup sudah seharusnya sendirian, sepi masih bisa diajak kompromi juga dijadikan kawan. oh mungkin.

"Kuliah itu menyenangkan gak Sunghoon?", tanya Jake, mulutnya sibuk mengunyah corn dog yang meninggalkan jejak minyak di sekitar bibir sosoknya. Sunghoon mengambil sehelai tissue kemudian mengusap jejak tersebut sebelum menjawab, tidak lupa mendekatkan minuman Jake pada pemiliknya.

"Enggak, mirip persiapan menuju langkah selanjutnya — aku hampir nyerah haha"

"Oh ya? Berat ya?"

"Iya — tapi itu jelas subjektif, kalau kamu tanya orang lain jawabannya pasti beda! Semuanya tergantung individunya"

Jake angguk-angguk, minum minumannya lalu mengecek arlojinya. Mungkin gak sabar mau pulang, batin Sunghoon, dongkol setelah berpikir demikian. Stress membuat segala opini yang muncul menjurus pada ranah negatif dan itu melelahkan dirinya.

Malam itu udaranya tidak terlalu dingin, Sunghoon yang baru saja selesai olahraga pukul setengah delapan masih merasakan degup jantungnya bekerja agak cepat (efek cardio) menimbulkan rasa hangat pada beberapa anggota tubuhnya.

"Aku juga mau kuliah", cicit Jake, dia tampak memainkan sedotannya, mata menatap minuman di dalam gelasnya.

"Aku capek dikekang"

"Ah — aku muluk-muluk lagi"

Sunghoon terkekeh, "gapapa! lumrah"

"Iya sih eh Sunghoon aku pernah cerita belum ya kalau aku pernah masuk kelas renang tapi berhenti ditengah jalan karena aku cedera", dia menggeleng sebagai respon.

"Dulu aku ...."

Kedua mata itu berbinar indah dalam rengkuh lampu temaram, pipi dan bibir memerah karena kedinginan, rambutnya dibiarkan jatuh dan ditiup angin malam sesekali. Fitur wajahnya maskulin tapi  mata dan bibir memberi sosoknya efek menggemaskan, setidaknya di mata Sunghoon.

"Aku sedih harus keluar karena dia coach paling ramah dari semua coach kelas — kamu dengerin nggak sih?"

"Iya"

"Apa?"

"Gapapa"

"Dih kok begitu?"

"Iya iya maaf! Intinya dia pelatih paling baik hati kan?"

"Iya"

Satu jam sehari seolah cukup bagi Sunghoon memandang lawan bicaranya, memperdengarkan ceritanya yang tidak penting dan mendengarkan cerita Jake yang disajikan secara menggebu-gebu penuh semangat yang tidak akan pernah Sunghoon miliki meski dia ingin supaya ia disukai orang-orang disekitarnya.

Di tiap hembusan nafasnya, ditengah perbincangannya dengan Jake, dia panjatkan doa supaya sosok tersebut bisa melakukan apapun yang dicinta tanpa harus melakukan suatu hal atas suruhan orang tua semata.

"Jake"

"Ya?"

"Kamu cantik", pujian itu keluar begitu saja.

TBC

[FIN] Satu Jam PerhariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang