Chapter 1 : True Desolation

19 3 0
                                    

PERHATIAN‼️

CERITA INI MENGANDUNG UNSUR KEKERASAN DAN KATA-KATA KASAR

HARAP BIJAK DALAM MEMBACA, ANAK DIBAWAH UMUR TIDAK DIPERBOLEHKAN UNTUK MEMBACA CERITA INI! 

TERIMAKASIH.


—————

Rontaan demi rontaan gadis itu layangkan pada laki-laki yang mencengkram kedua tangannya dengan erat, kepala gadis itu menggeleng, menolak keras apapun yang dilakukan laki-laki itu padanya dengan air mata yang terus mengalir, membasahi pipi penuh jerawatnya.

Padahal niat gadis itu hanya ingin ke kamar mandi sebentar sepulang sekolah untuk berganti baju, karena setelah ini dia akan lanjut bekerja, yaitu mengajar les. Tidak ada waktu untuk pulang ke rumah karena jaraknya yang jauh, tapi kenapa menjadi seperti ini? Tiba-tiba saja laki-laki ini masuk dan memojokannya ke tembok.

"Stop! Aku mohon.. Jangan gini." Gadis itu berkata lirih, suaranya bergetar karena ketakutan. Biasanya pria ini membully-nya hanya sekedar menyuruhnya membelikan sesuatu, tidak sampai seperti ini.

Laki-laki itu tidak merasa iba, dia malah semakin senang mempermainkan gadis yang ada dalam kuasanya ini.

"Muka lo jelek, banyak jerawatnya! Gue bahkan sampe jijik liatnya, harusnya lo sadar diri! Tutupin muka lo, bikin mata gue sakit aja, sial!" Laki-laki itu berkata dengan nada menghina, sambil menatap rendah gadis itu.

"Tapi walau gitu, entah kenapa bibir lo.." Tatapan laki-laki itu turun pada bibir berisi gadis itu, lalu menjilat bibir bawahnya. "Keliatan enak, terus tubuh lo.." Tatapan tak senonoh laki-laki itu lalu turun menjelajahi tubuh gadis itu.

Dada yang berisi, pinggang yang kecil dan bokong yang sintal.

"Sial!" Laki-laki itu mengumpat saat merasakan bagian bawahnya bereaksi, dia semakin merapat pada gadis itu, tidak sabar ingin mencicipi tubuhnya yang menggoda. "Lo cukup diem aja dan nikmatin, oke? Lo harus bersyukur yang cicipin tubuh lo itu gue, siswa paling populer disekolah ini." Laki-laki itu menyeringai licik.

Gadis itu terus memberontak, dengan air mata yang semakin deras. Dia tidak mau, tolong jangan lakukan itu! Namun hasilnya nihil, bagaimana pun perbedaan kekuatan laki-laki ini dengannya sangat jauh.

Laki-laki itu emosi dan merasa terganggu karena tangisan dan rontaan gadis itu, satu tamparan dia layangkan hingga membuat gadis itu tersungkur ke lantai dengan keras. Tidak cukup sampai disitu, laki-laki itu meraih pancuran air dari kamar mandi dan mengarahkannya pada gadis itu.

"Gue bilang lo cukup diem aja, anjing!"

Gadis itu terkejut, dia berusaha mati-matian menutupi tubuhnya dari siraman air menggunakan tangannya, dan tentu saja itu sia-sia.

Disisi lain, tatapan laki-laki itu berkilat lapar saat melihat seragam gadis itu yang basah mencetak tubuhnya dengan sempurna, dia melemparkan pancuran air itu lalu menarik kaki gadis itu. Sekarang gadis itu ada dibawah tubuhnya, dia menyeringai mesum. "Gue udah gak tahan lagi! sekolah udah sepi, jadi percuma aja lo teriak minta tolong."

"Gak usah sok jual mahal, sekarang aja lo bilang gak mau, nanti juga lo keenakkan." Laki-laki itu terkekeh sinis, lalu tangannya tanpa izin bergerak liar diatas tubuh gadis itu.

Gadis itu terus memberontak, tidak mau menyerah. "Jangan.." Bibirnya sudah pucat pasi dan tubuhnya menggigil karena kedinginan, tangannya sekuat tenaga menahan tangan laki-laki itu yang berusaha membuka kancing seragamnya.

Laki-laki itu sudah diselimuti hawa nafsu, dengan paksa dia membuka seragam gadis itu hingga semua kancingnya terlepas.

Tangan gadis itu spontan menutupi dadanya. "Kamu.. brengsek!"

"Gue bilang diem, bangsat!" Laki-laki itu menampar gadis itu lagi, lalu mencengkram dan menarik dagu gadis itu, mencium bibirnya dengan paksa.

Kepala gadis itu serasa berputar karena tamparan itu, ditambah ciuman paksa ini membuatnya mual.

Gadis itu.. jatuh pingsan.

Bejatnya, laki-laki itu terus melanjutkan kegiatannya. Tidak peduli bagaimana kondisi gadis itu, karena yang ada dipikirannya saat itu hanya memuaskan nafsunya saja.

————————

Perlahan gadis itu tersadar dari pingsannya, setelah membuka kedua matanya, dia hanya berbaring diam dilantai kamar mandi yang dingin sambil menatap ke atas. Meratapi hidupnya yang saat ini sudah benar-benar hancur.

Tidak ada lagi yang tersisa.

"Ibu.." Gadis itu berkata lirih, laki-laki brengsek itu sudah pergi, tanpa perasaan meninggalkannya seorang diri. Bagian bawahnya terasa sakit. Namun, hatinya terasa jauh lebih sakit.

Air mata gadis itu luruh membasahi pipinya, namun tidak ada suara isakan. Dia hanya menangis dalam diam. Kenapa semua ini harus terjadi padanya? Persetan dengan takdir, dia benci semuanya! Termasuk dirinya sendiri.

Perlahan gadis itu mengubah posisinya menjadi duduk, saat matanya menangkap bercak darah di selangkangannya, dia merasa mual, dia merasa sangat-sangat kotor.

"ARGHH!"

Gadis itu berteriak histeris, melampiaskan rasa sakit yang semakin menyesakkan dadanya. Dengan susah payah dia bangkit berdiri, lalu menyeret tubuhnya ke bilik kamar mandi.

"Ibu.. Ibu.. Inna sangat kotor, kotor sekali."

Gadis bernama Innara itu meraih pancuran air, membasuh tubuhnya yang menurutnya sangat kotor, sedangkan air matanya terus mengalir menyatu dengan air.

Tangannya menggosok semua bagian tubuhnya dengan kasar, ingin menghilangkan jejak yang ditinggalkan oleh laki-laki brengsek itu.

Setelah beberapa saat, Innara berhenti membasuh tubuhnya. Dia melemparkan pancuran air itu lalu keluar dari bilik kamar mandi dengan sepoyongan dan tatapan matanya yang kosong. Innara hanya mengikuti kemanapun kakinya melangkah.

Angin malam membelai wajahnya ketika Innara sampai di Rooftop sekolah, dia memejamkan matanya sebelum menjatuhkan tubuhnya, duduk dilantai yang dingin, memeluk kedua kakinya dan menatap ke atas, pada bulan yang terlihat sangat besar dan terang.

Ah, bulan purnama? Indah sekali. Setidaknya, dihari yang buruk dan suram ini, Innara menemukan hal yang membuat hatinya sedikit membaik.

"Ibu, kenapa Inna gak cantik? Kenapa mereka jahat sama Inna, bu? Inna salah apa?" Gadis itu menunduk, membenamkan wajahnya dilipatan tangannya, dia ingin menangis. Namun, tidak ada air mata lagi yang keluar.

"Inna capek. Inna pengen nyusul ibu, tapi kasian bapak sendirian." Gadis itu berkata lirih, bisa melompat dari Rooftop sekolah berlantai tujuh ini adalah keinginannya. Dia benar-benar sudah sangat lelah.

"Andai Inna cantik, pasti kehidupan Inna gak akan sehancur ini, kan bu?"

Seakan sadar sesuatu, Innara mendongak. Menatap pada bulan lagi, seakan-akan dia sedang berbicara dengan ibunya. "Maaf, padahal ibu udah berkali-kali bilang sama Inna agar selalu bersyukur apapun yang kita punya." Innara bangkit berdiri, lalu berjalan ke pagar pembatas Rooftop. "Udah malem, lebih baik Inna pulang sebelum bapak nyariin."

Innara terdiam sejenak. "Tapi kalau dipikir-pikir, bapak bisa ngurus hidupnya sendiri. Bapak kuat, buktinya dia bisa mukulin Inna setiap hari. Jadi gak papa kan bu, kalau Inna nyusul ibu?" Bibir Innara melengkung ke atas, tersenyum lebar. "Maaf Inna gak bisa nurutin permintaan terakhir ibu buat jaga bapak, Inna capek, Inna pengen pulang."

"Ke pelukan ibu."

Setelah berkata seperti itu, tanpa ragu Innara melompati pagar, membiarkan tubuhnya jatuh bebas, dia memejamkan matanya dengan bibir yang masih melengkung ke atas, tersenyum lebar.

Beauty Privilege : Bad Habbit of WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang