Dua

44 2 0
                                    

Alga POV

Nothing will be changed


Diskors kedua kalinya. Bagi kebanyakan orang adalah sebuah ancaman besar untuk dikeluarkan dari sekolah. Kesalahan yang sangat fatal sekali lagi saja, pihak sekolah tak segan untuk mengeluarkan murid yang melakukannya. Tapi bagiku untuk kedua kalinya, ketiga kalinya atau kesekian kalinya semua hal yang biasa dan bukan sebuah ancaman yang menakutkan.

Sudah dua hari dari masa hukuman, aku hanya bisa memandang langit biru dari balik tirai kamar. Shaffa benar-benar sangat marah padaku—dia tak mengizinkanku untuk keluar rumah selama masa hukuman berlangsung kecuali jika ada kepentingan mendadak.

Aku mengerti, Shaffa benar-benar tak menyukai kelakuanku yang liar. rambut yang selalu berganti warna, sepatu yang melanggar peraturan, bolos pelajaran, bertingkah layaknya jagoan, bertengkar sampai melukai seseorang, dan berbicara kasar. Aku mengakuinya. Tapi bagaimana lagi, susah untuk merubahnya. Lagipula perilaku itu telah membuatku nyaman, melekat pada keseharianku yang jarang di perhatikan kedua orangtuaku.

Pasti banyak hal-hal yang telah aku lewatkan di sekolah selama masa hukuman. Mulai dari pekerjaan rumah yang pasti menumpuk—meskipun aku tak pernah peduli, kegiatan yang diadakan sekolah, pengumuman di mading yang sebenarnya tak penting—tapi aku menyukai itu, rencana sahabat-sahabat satu geng untuk bersenang-senang, orang-orang yang menggunjingiku, dan masih banyak hal lain yang aku tinggalkan.

Ngomong-ngomong tentang Shaffa, kalau aku bercerita tentang dirinya ceritanya akan sangat panjang dan tidak bisa selesai dalam satu tahap. Kebebasanku sedikit terganggu ketika gadis itu mulai menginjakkan kaki dirumah. Shaffa sudah menetap dirumahku sejak Ibunya telah tiada. Sebenarnya aku senang dengan keberadaannya membuat rasa kesepianku berkurang. Dia sangat penyayang dan perhatian layaknya seorang kakak pada adiknya.

Mungkin, aku jahat dengan hanya memerlukan dia ketika aku butuh dan mengabaikannya ketika aku bersama sahabat-sahabatku. Tapi, bagaimana pun Shaffa tetap menjadi penahan langkahku melakukan kebebasan, dan selalu mengancamku disaat aku melakukan sesuatu yang menurutnya tidak baik.

Aku sayang Shaffa, seperti kakakku sendiri. Shaffa sudah terlalu lama ada di sampingku, selalu muncul dalam hari-hariku yang penuh dengan kesuraman. Tapi, aku muak dengan mulutnya yang tak pernah berhenti menasehatiku dengan hal yang itu-itu saja. Kalau dia mengomel, aku menutup pendengaranku atau membiarkan suaranya masuk lewat telinga kanan lalu keluar lewat telinga kiri.

Suara bel rumah terngiang di telingaku, mengalun sampai kamar tempatku bermalas-malasan. Aku segera bangkit dari tempat tidur, keluar dari kamar, dan melangkah menuju sumber suara. Siapa yang datang jam segini?

Pintu terbuka.

Mataku mendapati sesosok pemuda yang tengah tersenyum dan melambaikan tangan. Tanpa banyak bicara, aku mempersilakan pemuda itu masuk. Pemuda beralis tebal itu sudah terbiasa datang setiap minggunya kerumah, bahkan setiap hari.

Dia adalah Rey, kekasih Shaffa.

"Shaffa belum pulang?" Tanya Rey yang baru saja menjatuhkan bokongnya di Sofa berwarna kuning gading milik keluargaku.

"Belum," aku menjawab sambil berjalan ke arah dapur untuk mengambil suguhan.

Rey. Pemuda itu sebenarnya sudah sering kuperhatikan sejak masa Orientasi SMA. Aku mulai memandanginya saat ia menjadi Kakak pembimbing di kelasku karena dia anggota dari Organisasi Siswa Intra Sekolah.

"Cuma ada sirup. Nggak apa-apa kan?" Aku membawa nampan ke arah ruang tamu, menyajikan segelas sirup orange dengan beberapa es batu yang masih mengapung.

AlganiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang