Lima

15 2 0
                                    

Algania POV

The other side in him

Malam telah larut. Jarum pendek sudah bertengger di angka sepuluh. Shaffa berbaring di atas soffa, matanya terpejam, terlelap dalam tidurnya. Aku tahu, pasti dia menungguku dengan badannya yang masih meringkih. Saat aku menempelkan tanganku pada keningnya, tubuhnya panas. Sesuatu menyeruak dalam hati, meneriaki batinku. Sesuatu yang membuatku merasa bersalah.

Aku berjalan pelan memasuki kamar. Seharusnya aku pulang jam enam petang seusai pulang dari Bioskop, namun karena tadi Rey mengajakku untuk menemaninya makan, aku jadi telat pulang dan membuat Shaffa menunggu. Saat tadi di dalam Cafe pun, tidak ada yang dapat aku lakukan; Rey terus berceloteh tentang dirinya dan teman-temannya, tentang sepupunya, dan hobi yang dia sukai. Meskipun membosankan, tapi diam-diam aku mengaku, aku senang menghabiskan waktu berjam-jam berdua dengan Rey.

Aku sangat bersalah hari ini; tidak bilang kalau aku nonton dengan kekasihnya sendiri dan pulang hingga larut malam seperti ini. Aku segera menaiki tangga-menuju kamar Shaffa untuk mengambil selimut, lalu kembali lagi dan memasangkannya ke tubuh gadis itu.

"Jangan marah, ya,"

***

"Algaaa!!"

Panggilan secara mendadak itu membuatku menghentikan langkah menuju kantin. Tanpa berpikir terlebih dahulu, aku langsung membalikan badan karena telah mengetahui siapa yang meneriaki nama ku seperti itu. Rey.

Rey mendekatiku dengan langkah gontai. "Liat Shaffa nggak?"

Sebelum menjawab pertanyaan barusan, aku memilih duduk pada sebuah kursi yang berada tepat di hadapanku. Kursi yang biasa di sediakan untuk sekedar tempat duduk-duduk para Siswa.

"Gue dari tadi nggak liat. Apa dia masih sakit, ya?" Tanya Rey lagi, kali ini turut menatapku seperti biasa. Menatapku tajam, dengan tatapan mautnya.

"Iya, dia masih sakit. Mukanya makin pucet. Nggak tega biarin dia sekolah." Jawabku setelah Rey melempariku dengan beberapa pertanyaannya.

"Ya ampun, apa dia nggak minum obat?"

Aku mendesah. "Nggak tau. Kemarin, kan kita pulangnya malem banget. Mending lo jenguk dia,"

"Oh, iya." Rey mengambil posisi duduk disampingku, merapatkan tubuhnya, lalu berbisik pelan ditelinga dan membuat bulu romaku meremang. "Ngomong-ngomong, nanti pulang sekolah lo jadi ikut gue kan?"

Ditodong seperti itu tentu membuatku tercengang, sekaligus teringat janjiku kemarin. Sebetulnya aku masih bingung untuk mengikuti apa kata Rey. Tapi, jika bilang tidak-Rey akan memberi tahu kepada Shaffa bahwa aku telah bermain-main dengan batang tembakau. Bisa mati kalau rahasia yang selama ini aku sembunyikan selama beberapa tahun terbongkar. Terpaksa untuk kali ini aku harus berkata Iya, meskipun jawaban itu berat untuk aku lakukan.

Aku mengangkuk pelan. "Mau kemana, sih?"

Rey terkekeh. "Ya... liat aja nanti malem."

Ekspresi wajahku berubah. Jantung sudah tidak lagi berdegup seperti biasa jika berada dekat dengan Rey. Dari kemarin malam, semenjak Rey mengetahui aku merokok, Rey menampakkan sosok yang bukan dirinya-sosok yang selalu aku pikirkanku dengan cowok yang sempurna dengan hati dan pribadi seperti pangeran. Ada hal yang aku tak ketahui tentangnya, dan mungkin Shaffa juga tak mengetahuinya

"Pokoknya, bakal lebih liar dari yang biasa lo lakuin." Timpal Rey, lagi.

Wajah Rey spontan menandakan ada sesuatu yang kemungkinan terjadi. Aku semakin tidak yakin dengan ikut bersamanya, tapi dilain sisi, ada rasa penasaran yang membumbung tinggi. Tidak ingin terus membuat Rey berbicara, aku meneruskan niat untuk pergi menuju kantin.

AlganiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang