Tuntutan, ambisi dan keinginan yang berjalan beriringan. Terasa menyesakkan ketika tidak sejalan. Ini cerita tentang Lintang, lelaki pecinta malam. Bukan lelaki yang kelayapan di setiap malam, namun baginya malam adalah waktu terbaik untuk dirinya m...
"Ini yang belum masuk berarti Lentera dan Chessy ya," cetus Aiza mengawali meet.
Malam ini, tepatnya setelah isya' anak-anak ekstra matematika mengadakan meet tanpa pembina ekstra. Intinya belajar bareng.
"Nah ini Chessy udah gabung. Tinggal Lentera yang belum gabung," lanjut Aiza.
Aku lagi malas berkomentar. Sebenarnya aku tau, Lentera tidak akan gabung meet kali ini. Tapi karena mood ku lagi berantakan. Maka kubiarkan saja. Aku saja gabung meet belajar, tapi tanganku Masih mengerjakan miniatur pioneering untuk ujian TKK pramuka.
Sebenarnya kejar tayang sih ujian TKK ini, masih banyak poin yang belum kutempuh. Padahal pelantikannya dalam waktu dekat ini. Pelantikan TKK itu bersamaan dengan perkemahan sabtu minggu mendatang. Makanya kejar tayang. Ga lucu kali ga jadi pelantikan.
"Kalo Lentera kayaknya ga gabung meet kak," sahut Lian. "Dia sakit, di rumah sakit."
"Loh beneran? Tapi kok Lintang ga kabar-kabar? Kan biasanya dia paling deket sama Lintang."
"Tau Lentera sakit apa ga, Yan? Kok sampe ke rumah sakit?" tanyaku menginterogasi. Walaupun sebenarnya aku tau alasan Lentera di rumah sakit.
"Ha? Itu kak. Maaf kak, Lian ga tau," jawab Lian dengan terbata-bata. "Itu pioneering ya kak, kok telaten sih buat kayak gitu."
Keliatan banget kalo mengalihkan topik. Basi banget caranya.
"Langsung mulai aja, Yuk." Aku meletakkan pioneeringku dan beralih ke buku matematika.
"Di dalam suatu lingkaran yang berjari-jari 5 cm dibuat persegi ABCD, sehingga titik sudut persegi tersebut berada pada lingkaran. Luas persegi ABCD adalah…cm2." Lintang membacakan soal. "Sampe sini ada yang belum bisa memahami soal? Atau udah ada yang nemu jawabannya?"
"Lewati aja ga sih? Pasti udah bisa soal kayak gitu," cetus Aiza.
"Bahas aja, Kak. Kayaknya aku juga masih asing," tambah Lian.
Aiza kembali bersuara, "Yaudah bahas aja."
Ekspresi Aiza sudah tidak nyaman. Dan parahnya muncul ide iseng di otakku. Sekalian ku kerjain saja.
"Kamu yang bahas aja, Za."
"Kok aku?" balas Aiza dengan ekspresi tak enak dipandang. Ekspresi marah dan kesal bercampur menjadi satu.
Kalau biasanya Aiza disuruh-suruh itu ga mau. Kalau yang nyuruh aku ya pasti mau. Bisa dibilang anak-anak itu segan dengan Aiza, makanya jarang yang berani menyuruh. Apalagi pribadi Aiza yang cukup sering badmood dan marah makin ga berani anak-anak.
"Sebenarnya soal kayak gini tuh soal sederhana ya. Karena masih banyak soal yang lebih sulit. Bentar aku tunjukin gambar ilustrasinya."
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Paham ga kalo dari gambarnya."
"Yaa," jawab Chessy dan Lian serentak.
"Berarti jari-jari disitu apanya persegi?" tanya Aiza memancing respon yang lain.
"Sisi persegi," cetusku cepat.
"Lintang ..." Sengaja ku buat dia kesal. Salah siapa sombong amat. Punya ilmu kok ga mau bagi.
Kalo menurut Lais anak-anak yang lain aku suka Aiza. Jawabannya ga sama sekali.
"Oke, jari-jarinya itu yang AO ya. Jadi setengah dari garis AC. AC didapat dari mana? Sampe ga tau besok sampe sekolah aku sembelih."
Sontak Lian tertawa. Namun tidak dengan Chessy. Dia terlihat kebingungan. Untung di sini tidak ada Lentera. Makin bingung mungkin kalo yang jelasin Aiza.
"AC itu diambil menggunakan rumus phytagoras ya. Masih ingat kan. Kalo AO tadi panjangnya lima centimeter yang didapat dari jari-jari lingkaran berarti. AC berapa?" Aku mengambil alih penjelasan Aiza. Gereget sendiri ngelihat dia yang ga niat nerangin.
"Sepuluh centi meter." Kali ini Chessy bersuara. Kuabaikan ekspresi Aiza yang semakin ga jelas itu.
"Kita masukkan ke rumus phytagoras. Persegi sisinya sama panjang kan?"
Aku menjelaskan dengan pelan-pelan. Takut mereka salah tangkap. Apalagi Lian yang baru mengenal type soal olimpiade. Dan Chessy yang agak sulit paham.
"Sampe sini ada yang belum paham."
"Paham," jawab mereka bersamaan.
Soal demi soal berlanjut, yang membahas pun juga gantian. Termasuk Chessy juga ikut menjelaskan. Apalagi Lian, meskipun dia paling muda di meet kali ini, tapi juga bisa aktif.
Sampai akhirnya fokusku terdistraksi oleh suara yang sangat kubenci. Suara pertikaian orang tuaku. Aku sangat membenci itu. Dan yang dibahas hanya itu, itu dan itu.
Bisa dibayangkan seberapa kerasnya suara mereka. Jika sampai lantai dua saja terdengar keras.
"Aku izin meet duluan," putusku sepihak.
Dengan cepat aku mematikan meet. Mengabaikan tanggapan mereka tentangku. Lebih baik seperti itu, daripada mereka mendengar pertikaian orang tuaku. Itu lebih membuatku malu.
"Lintang itu harus berprestasi akademiknya. Kalau ga seperti itu bagaimana dengan masa depannya? Mau jadi apa dia?" Suara bunda mendominasi.
"Lintang itu punya dunianya sendiri, Bun. Punya kesenangannya sendiri. Kita ga bisa mengambil keputusan sepihak tanpa memikirkan keingingan dia." Ayah membelaku.
Aku segera naik ke rooftop tuk menghilangkan emosi. Kesal tiap hari dengar suara mereka.
Ku tatap langit biru yang gelap. Biru yang menjadi favoritku. Diantara warna langit yang kusuka adalah warna langit malam. Langit malam yang dipenuhi dengan bintang. Penuh ketenangan. Namun sayangnya malam ini tidak ada bintang.
Ku rebahkan diriku. Kutarik napas dalam-dalam. Mencoba merelaksasi diri setelah kegiatan padat sepanjang hari.
"Kamu bisa, Lintang. Kamu bisa. Kamu hebat." Aku menyemangati diriku sendiri.
Dinginnya malam sepertinya sudah tidak terasa. Bahkan terasa hangat seakan memeluk tubuhku. Langit malam kali ini tanpa bintang. Seakan tau suasana hatiku yang tak nyaman. Lintang malam pun tak ingin menunjukkan cahaya indahnya.
"Lintang," panggil Ayah. "Turun dulu yuk. Bunda mau bicara."
Aku menghembuskan napas gusar. Sepertinya malam ini memang tidak ada ketenangan.
"Kamu tetep ga mau lepas pramuka?" tanya bunda serius.
"Kalau pramuka Lintang lepas. Matematika juga Lintang lepas. Termasuk juga olimpiade dalam waktu dekat ini."
Bukannya aku ingin membantah. Bukannya aku tidak ingin patuh ke orang tua. Tapi ini tentang diriku. Tentang keinginanku.
"Kamu ini!"
"Anak itu punya keinginan sendiri, Bun. Biarin Lintang bahagia dengan dunianya sendiri."
Bunda terlihat menarik napas kesal. Jujur aku tidak ingin di posisi ini. Aku tidak ingin membantah. Aku tidak ingin durhaka.
"Bunda izinin kamu di pramuka. Dengan syarat, olimpiade kali ini harus pulang dengan piala," pungkas bunda.
Aku terdiam. Lomba OSN tidak semudah itu. Meskipun ini tingkat kota. Tapi ya ga bisa semudah itu mendapat juara. Tidak semudah olimpiade yang diadakan SMA sederajat.