[5]Langit-Langit Dunia

5 0 0
                                    

"Apapun itu bentuknya, bagiku bulan tetap indah. Tetap menenangkan."

___

"Kamu biasa emang pulang jam segini? Ga kurang malam? Jum'at lho ini. Ga ada les sama sekali lho kamu? Main ke mana aja?"

Suara bunda membuat atensiku terfokus padanya. Aku menghembuskan nafasku dalam. Lelah aktivitas seharian, haruskah mendapat luapan emosi di waktu maghrib. Hanya karena pulang maghrib. Toh ini juga sudah menjadi kebiasaanku.

Pulang maghrib itu sudah menjadi hal biasa. Hari senin sampai kamis aku juga selalu pulang maghrib. Terus salahnya di mana? Bedanya biasanya pulang maghrib karena bimbel. Kali ini pulang maghrib karena setelah pramuka mampir main ke deket sungai. Sama-sama pulang maghrib.

"Biasanya juga gitu kok, Bund," balasku. "Tumben Bunda pulang maghrib? Biasanya juga pulang malam?"

Biasanya aku pulang maghrib itu rumah sepi. Ayah dan bunda sama-sama belum pulang kerja. Entah apa saja yang dikerjakan di kantor, setiap hari pulangnya selalu malam. Bahkan biasanya aku pulang dari madrasah diniyah pun juga belum pulang. Makanya aku heran ketika maghrib bunda sudah di rumah.

"Ga perlu membalikkan pertanyaan. Bunda ga pernah ajarin kayak gitu." Sepertinya aku salah ucap. "Kamu pulang pramuka jam berapa sih, Lintang?"

"Jam setengah empat, Bun. Tapi tadi rapat bentar dan mampir ke sungai."

"Sama temen-temenmu anak sungai itu? Kamu masih sering main sama mereka?"

Sepertinya aku salah cerita ke bunda. Aku lupa bunda melarangku berteman dengan Lais, Logan dan Leci. Kadang juga heran apa alasan bunda melarangku. Ini itu dilarang. Capek juga rasanya.

"Iya, Bund. Lintang mau sholat maghrib dulu, Bund. Belum mandi juga."

Mungkin terlihat tidak sopan, tapi harus bagaimana lagi? Aku juga harus masuk madrasah diniyah nanti. Capek juga.

"Lintang!"

"Lintang mandi dulu, Bund. Maaf."

___

Aku menjalani aktivitas seperti biasa. Ya, seperti biasa. Malam ya pasti di madrasah diniyah. Apalagi kalo bukan itu. Mungkin terdengar monoton. Tapi ini satu-satunya kegiatanku yang tentang agama selain kegiatan pribadi. Maksudnya selain sholat dan mengaji al-qur'an. Untuk satu ini tidak boleh mengeluh.

Sepulang dari madrasah diniyah aku kembali pada aktivitas wajibku. Yaitu belajar. Mungkin ini sebuah klise kehidupan yang cukup monoton. Cukup monoton untuk hidupku yang monokrom.

'Kamu biasa emang pulang jam segini? Ga kurang malam?'

Pertanyaan bunda terngiang-ngiang di kepalaku. Bukankah itu hal normal? Kenapa dipermasalahkan? Bukankah bunda juga tau padatnya jadwalku? Bahkan bunda sendiri yang menyuruhku bimbel ini itu. Hingga pulang maghrib jadi kebiasaan.

Lantas pulang maghrib karena pramuka kenapa dipermasalahkan?

Apa karena mampir bertemu 4L?

"Aggrrrhhh."

Kertas penuh hitungan di depanku kupenuhi dengan coretan asal. Aku ga bisa fokus malam ini. Jika diteruskan seperti ini pun juga percuma. Tidak ada pelajaran yang masuk pada akhirnya. Yang ada badmood sepanjang malam.

Ku putuskan mengambil buku paket tebal dan naik rooftop. Aku butuh ketenangan kali ini. Aku butuh menghirup udara malam.

Dinginnya malam sama sekali tak mengganguku. Udara dingin seakan memelukku penuh kenyamanan. Menghangatkan.

Ku tatap langit hitam yang bertabur bintang. Indah dan menenangkan. Namun sayangnya aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan. Rembulan kali ini tak sempurna bulat. Orang-orang biasa menyebutnya bulan cembung. Apapun itu bentuknya, bagiku bulan tetap indah. Tetap menenangkan.

Aku merebahkan tubuhku menatap langit-langit dunia. Sepertinya tubuhku memang butuh istirahat. Mungkin andai saja bisa berteriak, organ tubuhku selain mulut sudah teriak kencang sekali tuk mengeluarkan kelelahannya.

Tiba-tiba rasa perih menyelinap di perut. Dan aku baru teringat, terakhir makan hanya roti dari Alsha. Lebih parahnya paginya aku tidak sarapan. Jadi, selain air putih dan roti. Perutku seharian belum terisi. Wajar aja perutku berontak.

'Kalo udah tau punya penyakit lambung, kenapa ga dijaga sih pola makannya? Tau aktivitas padet ya harusnya gimana tau kan.'

Tiba-tiba aku teringat bawelnya Alsha tadi sore. Lebih tepatnya bawel karena aku tak menjaga pola makanku. Lucu memang.

Mungkin dia satu-satunya orang dekatku yang mengetahui jika aku memiliki penyakit lambung. Bahkan ayah bunda saja tidak mengetahui hal itu. Bukan maksudku menyembunyikan penyakit ini dari mereka. Hanya saja tidak memiliki waktu yang tepat untuk bercerita.

Aku juga tidak bercerita ke 4L. Bukan aku bermaksud tak menganggapnya penting. Tapi rasanya untuk penyakit ringan seperti ini mereka tak perlu tau. Toh lagian mereka juga punya masalah dengan kehidupannya sendiri-sendiri. Aku tak perlu membebani mereka dengan masalahku.

Dan untuk Alsha, jika dia tak banyak tanya, mungkin juga aku tak akan memberitau. Dan, dia satu-satunya temanku yang memiliki akses lancar dengan ayah dan bunda. Cuma dia yang dengan mudah main ke rumah. Bahkan jika Alsha ada di pihak bunda. Mungkin bisa disebut mata-matanya bunda.

Beruntung dia di pihakku. Dan dia selalu menutupi apa yang ingin aku tutupi. Meskipun bunda melarangku untuk pramuka. Tapi beruntungnya, bunda tak melarangku berteman dengan Alsha.

Alsha menjaga semua rahasiaku. Tentang penyakit, tentang kelu kesahku selama ini, tentang ceritaku yang mungkin terdegar membosankan. Tapi dia menjaga rapat semua rahasia itu.

"Apa aku telepon dia saja, ya?" monologku. "nanti dia kegeeran lagi."

Handphone yang sempat kuangkat kembali kuletakkan. Satu sisi hatiku menginginkan untuk menelpon Alsha. Tapi sisi lain hatiku melarangku melakukan hal itu. Dan itu kulakukan sampai tiga kali.

"Niatmu ke rooftop untuk belajar, Lintang. Bukan teleponan dengan Alsha. Dosa, Lintang!"

Sisi baik hatiku kembali bersuara. Aku mulai membuka buk yang sejak tadi kuanggurkan. Baru beberapa lembar sudah kutaruh kembali.

"Tapi kok pengen telepon ya? Ah ga boleh, Lintang."

Dan pada akhirnya aku tidak jadi belajar dan memilih untuk mengisi amunisi perut.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lintang MalamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang