bagian 2

7 1 0
                                    


.⋆。⋆☂˚。⋆。˚☽˚。⋆.

Aku melanjutkan hari-hariku seperti biasa. Bekerja, pulang dan melanjutkan kerjaan lagi, kemudian streaming dan tidur.

Waktu cepat sekali berlalu. Semoga kedua orang tua yang mengurusiku sedari kecil, diberi kesehatan serta umur yang panjang. Berdoalah selalu dan berbuat baik untuk diri sendiri.

Besok sudah hari Rabu. Aku masih belum memikirkan rencana apa yang ingin kulakukan. Tapi, aku kepengen makan ayam penyet yang terletak tak jauh dari stasiun Bogor.

Alih-alih berharap bertemu dengan pasien tampan, aku malah berharap agar tidak hujan. Karena sebentar lagi sudah mulai masuk musim hujan. Apalagi, Bogor dikenal sebagai Kota Hujan, sudah pasti tiada hari tanpa hujan.

Aku menatap bulan yang bersinar terang diatas sana. Angin malam berhembus kencang membuatku semakin memeluk erat tas yang berisi perlengkapan nail art.

Aku baru menyelesaikan pekerjaanku pada jam 10 malam. Kalau kalian tinggal di kabupaten, pada jam tersebut sudah termasuk larut malam. Kawasan sudah mulai sepi. Tentu berbeda dengan kota.

Aku tidak memesan ojek online melainkan dijemput oleh abang iparku. Dia baik dan kadang menyebalkan. Aku menganggapnya seperti abangku sendiri, diapun memperlakukanku seperti adiknya. Padahal kami sama-sama anak bungsu.

Ia menikah dengan sepupuku yang seperti kakakku sendiri. Aku tinggal bersama paman dan bibi, mereka memiliki 2 orang anak. Laki-laki dan perempuan. Keduanya sama-sama sudah menikah. Hanya aku si anak pungut yang belum menikah.

Aku tidak marah ketika dibilang anak pungut. Toh, itu kenyataan sebenarnya. Lagipula, aku tidak diperlakukan seperti anak pungut melainkan seperti anak kandung sendiri. Aku benar-benar sangat bersyukur atas hal itu.

Setelah bebersih, aku makan nasi goreng bersama abang ipar dan kakakku, yang tadi dibeli saat perjalanan pulang. Kami makan seraya bertukar cerita.

Keesokan harinya, setelah melakukan ibadah sholat ashar, aku bersiap untuk makan pecel ayam favoritku. Memakai crop top berwarna hijau mint  yang dipadukan dengan celana kulot.

Aku membawa tas selempang untuk menaruh ponsel, membawa selembar uang berwarna biru kemudian mengikat rambutku asal. Tak memakai sepatu, kali ini aku memakai sendal jepit berwarna biru.

Aku bukan tipe orang yang terlalu mementingkan penampilan, yang penting bisa menempatkan penampilan dengan benar sih.

Aku berpamitan sebelum pergi, agar orang rumah tak khawatir. Tapi, itu sudah termasuk kebiasaan jika aku pulang telat pun selalu mengabari orang rumah.

Kereta hari ini penuh seperti biasa. Langit terlihat cerah. Sepertinya, semesta sedang berpihak padaku.

Aku benar-benar tidak sabar untuk segera makan 2 porsi ayam penyet. Pakai sambal cabai hijau yang dimakan saat nasi dan ayam dalam kondisi panas, tuh, benar-benar nikmat.

Aku kembali keluar melalui pintu stasiun yang menuju alun-alun Kota Bogor. Mataku menjelajahi sekitar. Inilah yang kusuka tiap kali berjalan seorang diri, mataku bebas menjelajahi tempat manapun, tanpa harus membagi pikiran dengan mendengarkan seseorang berbicara.

Aku melihat bangku yang sama dan terdapat orang lain sedang duduk disana. Aku tidak bisa melihat bagaimana rupa orang tersebut karena ia mengenakan outfit serba hitam dengan kepala yang tertutup tudung jaketnya.

Aku terus berjalan tanpa menghiraukan orang tersebut. Barangkali ia sedang menunggu teman atau bahkan kekasihnya.

Tapi, bagaimana kabar Cakka, ya? Mungkin sekarang lelaki itu sekarang sudah keluar dari rumah sakit dan kembali menjalani hidupnya. Sedikit kemungkinan lelaki itu akan mengingatnya. Ia hanyalah orang asing yang sedang berbuat baik.

Wednesday Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang