.⋆。⋆☂˚。⋆。˚☽˚。⋆.
Suara ketukan pintu membangunkan aku dari mimpi indah.
"Kirana.. bangun." Suara dari balik pintu terdengar lirih.
Aku berpikir, biasanya tidak ada yang membangunkan. Apa jangan-jangan Cakka?
Buru-buru aku beranjak dari kasur, dengan rambut acak-acakan dan muka bantal, aku membuka pintu. Terpampang disana sosok lelaki itu sudah rapih, mengenakan pakaian kerja khas Pineapple Cafe.
"Hai," sapaku.
"Pagi, Kirana. Nanti sarapan dulu. Aku udah beli bubur." Ucapnya sambil berlalu dari sana.
Aku kembali masuk kedalam kamar dan bersiap untuk berangkat kerja.
Menuruni satu persatu tangga dengan menenteng sepatu Converse, aku menghampiri Cakka yang sedang duduk di meja makan seorang diri.
"Bang Tio belom bangun, Cak?" Tanyaku setelah mendudukkan diri tepat dihadapannya.
"Udah, lagi ke toilet." Sahutnya seraya membuka bungkus bubur ayam, kemudian menyodorkannya padaku.
Aku menerimanya seraya mengucap terima kasih.
"Kenapa Ran?" Tanya bang Tio baru saja datang duduk di sebelahku.
"Kepangin rambut gue, dong, bang." Aku merengek padanya.
"Dih, ogah. Mana bisa gue." Ketus bang Tio.
"Kalo kaga bisa, tuh, belajar. Biar ntar lu bisa ngepangin rambut anak lu." Sahutku tak kalah ketus.
"Ama Cakka aja, noh, bisa kali dia." Tukasnya.
Tiada hari tanpa ribut jika aku dan bang Tio berada di satu tempat yang sama.
"Bisa emang, Cak?" Tanyaku memastikan.
Cakka mengangguk sebagai jawaban.
"Oke, nanti tolongin, ya." Pintaku dengan raut wajah gembira. Cakka lagi-lagi hanya menganggukkan kepalanya.
"Gue mo lanjut tidur lagi, ye. Cak, makasih buburnya. Nih, kunci motor gue." Ujar bang Tio seraya menaruh kunci motor miliknya diatas meja.
"Gimana badan kaga mau bengkak, abis makan langsung tidur." Nyinyirku. Haha. Aku suka sekali ketika saling bersahutan dengan bang Tio.
"Daripada lu, makan banyak tapi kagak gemuk-gemuk. Cacingan lu?" Sahut bang Tio tak kalah pedas. Aku tertawa menanggapinya.
Kulihat Cakka sudah selesai menyantap sarapannya. Setelah menengguk segelas air, ia beranjak menghampiriku. Berdiri tepat dibelakang tubuhku.
"Cakka, gue lupa bawa sisir." Ujarku pelan.
"Aku bawa, kok."
Cakka menyisir rambutku perlahan. Ia mulai mengepang rambutku.
Entah mengapa, aku merasakan ia melakukannya dengan penuh kehati-hatian. Seakan-akan rambutku mudah rapuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wednesday
Fiksi PenggemarAwal mula bagaimana aku bertemu dengannya. Ternyata, hidup penuh dengan plot twist. Untuk cintaku, Cakka Kawekas Nuraga. [Ditulis tanggal 18 Agustus 2023]