"Mbak, maaf ya aku datang mendadak begini ke kantor Mbak." Ucap seorang wanita yang tengah duduk di hadapanku.
Aku tersenyum memandang Rani, mantan adik iparku. Dia adalah adik kedua Mas Darma. Wanita ayu berkerudung itu membalas senyumku dengan sedikit kikuk.
"Nggak papah Ran, mbak juga nggak lagi sibuk." Ujarku menenangkannya.
"Mbak, ada yang mau aku bicarakan sama Mbak." Raut wajah Rani berubah serius.
Aku menunggu wanita itu melanjutkan ucapannya. Di dalam hatiku coba menebak-nebak apa yang ingin dibicarakan oleh mantan adik iparku ini.
"Mbak, maaf kalau mbak menganggap aku lancang, tapi aku mau minta bantuan Mbak Adin."
"Bantuan apa Ran?"
"Mbak, Bapak minggu lalu masuk rumah sakit. Serangan jantung."
Mendengar ucapan Rani, tiba-tiba tubuhku membeku. Aliran darahku rasanya menyurut, tenggorokanku tiba-tiba tercekat.
"Ba--bapak masuk rumah sakit? Kok nggak ada yang ngabarin Mbak?!" Aku terdengar sedikit histeris. Jujur saja aku benar-benar terkejut mendengar ucapan Rani.
"Mas Darma bilang waktu itu Mbak Adin sedang di Singapura sama Gema dan Awan, jadi tidak perlu diganggu."
Keterlaluan memang Mas Darma itu! Bisa-bisanya dia tidak mengabariku perihal Ayahnya yang masuk rumah sakit. Walaupun aku bukan lagi menantu di keluarganya, tapi aku benar-benar menyayangi kedua orang tua pria itu, tidak ada salahnya aku tau mengenai kabar tersebut.
"Ya Tuhan Ran, seharusnya kamu kabari Mbak langsung, nggak usah nanya-nanya ke Mas mu itu!" Aku kesal saat ini.
"Terus Bapak gimana sekarang? Masih dirawat atau sudah pulang? Dua hari yang lalu Bapak sembap telpon Mbak nanya anak-anak. Mbak nggak tau Bapak sakit." Suaraku terdengar sedikit histeris.
"Bapak sudah pulang ke rumah Mbak, Ibu minta dirawat jalan saja." Rani terdengar menenangkan ku.
"Ayo kita ke rumah, Mbak mau lihat Bapak sama Ibu!" Aku baru akan berdiri saat Rani kembali bersuara.
"Mbak,"
Melihat ekspresinya aku tiba-tiba kembali terduduk.
"Ada apa?" Tanyaku dengan tidak sabaran pada Rani.
"Sebelum kita ke rumah, ada hal penting yang mau aku omongin ke Mbak. Ini mengenai perawatan Bapak, Mbak."
"Langsung saja Rani, ada apa?"
"Sebenarnya Bapak diminta dokter untuk melakukan operasi lanjutan karena kondisi jantung Bapak yang tidak terlalu baik. Dokter menyarankan Bapak untuk dioperasi di salah satu rumah sakit, cuma di rumah sakit itu biaya operasinya tidak bisa dicover oleh asuransi yang dipakai Bapak, Mbak."
"Tadinya aku minta tolong ke Mas Darma untuk gadaikan SK dia buat biaya operasi Bapak, cuma kata Mas Darma kalau SK-nya di gadai, potongan gajinya besar dan nggak cukup buat nafkah bulanan Gema dan Awan."
Mendengar itu aku menghela nafas pelan.
Saat kami menikah, aku tidak pernah mempersoalkan besarnya uang bulanan yang diberikan oleh Mas Darma padaku. Berapapun yang ia sisihkan dari gajinya untuk keperluan rumah tangga kami selalu aku syukuri. Karena aku tau sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, Mas Darma juga punya kewajiban pada kedua orang tuanya yang sudah sepuh dan tidak lagi bekerja, keduanya hanya mengandalkan uang pensiun yang cukup untuk mereka berdua. Terlebih aku juga tau ayah mertuaku sempat menggadaikan SK pensiunnya untuk menutupi tagihan hutang si anak bungsu yang sekarang menetap di kediaman mereka bersama anak dan istrinya.
Sebenarnya waktu itu aku ingin menawarkan bantuan pada keduanya untuk menyelesaikan masalah yang dibuat oleh Rio, namun Mas Darma melarang ku. Dia mengatakan bahwa biarlah kedua orang tuanya yang menyelesaikan dan nantinya dia yang akan membantu kedua orang tuanya setiap bulan.
Aku mengiyakan, dan tidak protes dengan keinginannya. Dari dulu aku tidak pernah mempermasalahkan mengenai materi dengan Mas Darma.
Sebelum menikah aku sudah memiliki semuanya dan setelah menikah pun aku tidak kekurangan apapun. Kehidupanku sejak dulu jauh dari kata susah dan kekurangan. Sejak kecil hidupku berkelimpahan dan berkecukupan.
Ketika orang tuaku meninggal, mereka tidak meninggalkanku dengan tangan kosong. Ada banyak properti dan beberapa usaha yang ditinggalkan oleh ayah dan ibuku.
Dulu aku memang tidak pernah mengusik keuangan Mas Darma sedikitpun. Namun saat memutuskan untuk melayangkan gugatan cerai, aku menetapkan besaran dari nafkah bulanan yang harus dipenuhi oleh Mas Darma untuk kedua anak-anaknya. Enam puluh persen dari penghasilan bulanan Mas Darma harus disetorkan tiap bulannya padaku.
Awalnya ku pikir Mas Darma akan menolak tuntutan ku mengenai besarnya nominal yang harus diberikannya padaku, namun kenyataannya pria itu menyetujui permintaanku tanpa perdebatan.
Aku saat itu berfikir lebih baik uangnya habis untuk anak-anaknya daripada untuk wanita lain.
Tapi aku juga tau bahwa apa yang aku lakukan salah karena berimbas ke beberapa hal lain.
Aku sering bertemu dengan Rani, wanita yang sudah ku anggap seperti adik kandungku itu sering bercerita bahwa Ibu Mas Darma kerap meminta tambahan uang pada Rani karena Mas Darma memangkas uang bulanan sang Ibu.
Aku merasa sedikit bersalah. Karena hal tersebut, aku kerap mengirimkan uang tambahan untuk mantan mertuaku. Sebenarnya Ibu Mas Darma sempat menolak pemberianku dengan alasan tidak enak dan sungkan, namun aku memaksanya, karena tau beliau membutuhkan uang tersebut. Aku juga meminta mantan Ibu mertuaku untuk tidak mengatakan apapun pada Mas Darma.
"Mbak, aku sebenarnya segan ngomong ini ke Mbak. Tapi aku nggak tau lagi harus minta tolong ke siapa, aku mau minjam uang ke Mbak untuk pengobatan Bapak. Nanti tiap bulannya aku dan suami yang akan nyicil ke Mbak. Suamiku juga sudah setuju, mbak. Mbak bisa tanyakan langsung ke Mas Jun."
"Ran, seharusnya sejak awal kamu ngomong ke Mbak. Tolong jangan anggap Mbak orang lain. Walaupun sekarang Mbak dan Mas Darma tidak lagi punya ikatan apapun, tapi Mbak tetap menganggap kalian keluarga Mbak. Jangan sungkan untuk minta bantuan Mbak, apapun itu. Selagi mampu, Mbak pasti akan bantu." Ucapku tulus. Aku benar-benar menganggap mereka keluargaku, terlebih Ibu dan Bapak, mereka berdua adalah orang tuaku, selamanya akan tetap begitu.
"Mbak yang akan bawa Bapak berobat. Kamu nggak perlu khawatir tentang apapun. Sekarang ayo kita ke rumah Ibu-Bapak, Mbak mau lihat Bapak."
Rani tiba-tiba berdiri dari tempatnya duduk, ia melangkah mendekatiku. Wanita bertubuh kecil itu memelukku, lalu menangis haru dalam pelukanku.
"Makasih, Mbak. Makasih." Ucapnya berulang-ulang padaku.
****
Hay hay pembacaku tersayang,
Untuk hari ini author kasih harga promo untuk PDF lama yang ready...Untuk harga promonya :
Beli 1 pdf 15k
Beli 5 pdf harga 50k
Beli 15 pdf harga 100kIni untuk PDf yang ready dan berlaku promonya yaa :
True love
The beauty one
The beauty one 2
Natasha
The star
Ex wife
Eternal love
Hira atmojo
Jennifer's wedding
Back to evil
My possessive girlfriend
Great life
Mr. Duda
Aruna
Truely madly in love
The scandal
Fake love
Istri Kedua Ben
Forever Yours
My Hani Honey
Liliana
My lovely livi
Hope
Nyonya besar
My Honey Hani 2
Dalang dibalik duka
Hope 2
Viviane
Your Favorite Mistress
Wanita Kedua
Dunia Dita
Terjebak di Rumah Mertua
Life After rujuk
Lika Liku Luka
Step MotherJika berminat bisa langsung chat author ke 082286282870.. XOXO
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Kedua
RomanceAdine Farra memilih bercerai saat menyadari bahwa ia menjadi wanita kedua, pilihan terakhir dari sang suami. Ia lebih memilih menghancurkan pernikahan yang sudah sepuluh tahun terakhir ini dijalaninya setelah tau bahwa sang suami tidak pernah bisa s...