Prolog

44 2 0
                                    

"Dalam semesta yang Aku ciptakan, Kamu adalah segala yang paling ingin Aku jaga".

Amerta

___________________

Dengan badan gemetar, perempuan bertubuh mungil itu melajukan motornya dengan kecepatan penuh, ia sudah tidak berpikir jernih, kejadian menyakitkan tadi sungguh menguras seluruh energinya, ia hanya ingin cepat sampai pada tujuan.

Kemudian dengan cepat ia menepikan motornya kearah taman yang berada di tepian kota yang tampak sudah sangat sepi, sisa ia dan beberapa pedagang kaki lima disana yang sedang membereskan peralatan dagangannya. Ia tidak ingin memaksa, seluruh tubuhnya terasa sangat lemas, tidak berdaya. Tidak mungkin ia tetap menerobos pulang dengan jarak tempuh yang masih lumayan jauh dengan keadaan seperti itu, bisa mati konyol dirinya.

Ia melangkahkan kakinya dengan lemas kearah salah satu bangku taman yang dirasa cukup sepi dan tidak terjangkau dari para pedagang tadi. Air mata masih keluar dari matanya, ia menghembuskam nafas lelah, ternyata lagi-lagi ia merasakan sakitnya patah hati.

Fany, namanya Fany. Perempuan bertubuh kecil itu saaat ini sedang menerawang kembali mengingat kejadian tadi...

__________________

Dengan tergesa Fany keluar dari rumah itu, berdiam didepan motornya yang terparkir diluar rumah bernuansa merah hitam yang sering ia datangi itu. Ia menatap nanar kepada dirinya sendiri, mempertanyakan apa kesalahannya hingga mengalami hal yang diluar keinginannya ini terjadi. Ia melihat sesuatu yang benar-benar bisa mengakhiri seluruh kepercayaan dan usahanya yang selama ini ia coba dengan seluruh tenaganya.

For god shake, ia melihat riwayat telepon pasangannya menelepon mantannya. Mantan yang laki-laki itu tidak bisa lupakan sebelumnya, dan sering menjadi sumber masalah bagi mereka berdua. Sebut Fany naif, Sebut Fany tidak dewasa, tapi sungguh ia tidak bisa mengontrol dirinya, hal tersebut benar-benar membuat ia sakit tidak terelakkan, rasanya ia luruh saat itu juga.

Tes, Tes.

Air mata berhasil keluar dari kedua kelopak matanya yang sedari tadi ditahan oleh Fany, berawal dari tangisan yang ditahan, berubah menjadi isak tangis yang semakin besar, membuat mau tak mau Fany merasa bersalah karena suara isak tangisnya yang semakin mengeras dan tentu dapat menganggu kenyamanan tetangga rumah dan penghuni rumah itu. Tetapi sekali lagi, Fany tidak bisa mengontrol dirinya.

Laki-laki itu keluar dari rumah dengan muka yang Fany tidak lihat jelas karena air mata yang meenuhi kelopak matanya, tetapi yang pasti ia yakin bahwa laki-laki dihadapannya saat ini sedang menahan emosi karena Fany langsung keluar tanpa ba bi bu dan tidak mengindahkan sopan santun yang Fany tau dirinya tentu tidak sopan.

"Pon! Bisa kan dengerin penjelasan Aku dulu? Nggak usah main langsung keluar gitu! Nggak
sopan Pon!".

Demi Tuhan, Fany yang saat itu sedang terisak didepannya ingin memaki laki-laki itu saat itu juga. Bagaimana bisa ia lebih mementingkan pandangan orang lain terhadapnya dibanding menyelamatkan perasaan perempuan yang sedang menangis didepannya ini?

"Apa? Apa lagi? Itu udah jelas kan Koy! Sakit Koy!". Dengan suara bergetar Fany juga membalas perkataan Laki-laki bernama kiki itu dengan nada tinggi.

Kiki mengusap mukanya kasar, ia kemudian duduk disamping Fany.

"Pon, Kamu kan udah liat tanggalnya? Masa iya Aku yang telepon sendiri, terus buat apa Aku yakinin kamu selama ini?". Ujar Laki-laki itu dengan nada tertahan, Fany tahu, Kiki sedang menahan emosi dan malu saat ini, tapi sekali ini, Fany ingin egois, rasanya terlalu menyakitkan untuk bisa pulang tanpa penjelasan.

AmertaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang