Sudah tiga hari berturut-turut Dhamar sibuk dengan tugas dan pembelajaran. Bukan masalah hendak atau tengah ujian, melainkan ingin menjadi lebih baik, sekaligus memperbaiki kesalahan-kesalahan di masa lalu.
Jika memang benar bahwa dirinya dibantu dalam kemudahan oleh makhluk halus, Dhamar akan mencoba mematahkan itu semua. Dia akan membuktikan, dirinya bisa lulus tanpa bantuan makhluk halus.
Selama tiga hari berturut-turut itulah, tidak ada lagi yang namanya mimpi buruk, apalagi teror-meneror. Harinya berjalan normal, tidak ada gangguan.
“Dhamar!” Fikri berseru dari balik pintu.
Dhamar yang tengah merampungkan sisa tugas, menyuruh Fikri masuk tanpa beranjak dari tempat duduk.
Berbeda dari Dhamar, Fikri justru santai-santai saja selama kuliah. Prinsipnya: jika ada tugas, dikerjakan; jika tidak, biarkan. Sesekali, dia kerap menemani Dhamar di indekos, bermain, mengobrol, ataupun sesekali belajar bersama.
“Gue mau bilang sesuatu,” kata Fikri yang tengah duduk di kasur.
“Apa?” Dhamar menjawab tanpa menoleh. Sedikit lagi tugasnya akan selesai, nanggung istilahnya jika diselesaikan lebih dahulu.
“Pak Rustam meninggal tadi jam delapan malam.”
Dhamar tersentak, lalu berbalik badan, sekaligus mengganti posisi kursi. Dia tentu kaget mendengar berita itu. Dari dua hari lalu dirinya selalu gagal pergi ke sana karena waktu yang belum bisa diluangkan.
“Meninggal?” tanya Dhamar tidak percaya.
“Iya, tadi gue dikabari.”
Meskipun baru pertama kali, Rustam pernah membantu Dhamar dalam mencari tahu apa yang terjadi pada keluarganya. Dia juga bersedih, tidak menyangka pertemuan pertamanya sekaligus menjadi pertemuan terakhir.
“Lo kagak ke sana?” Dhamar bertanya. Jika Fikri mengangguk atau mengiakan, dirinya akan ikut.
“Kayaknya enggak. Udah malam juga. Besok juga masih nugas.”
Dhamar memaklumi. Dia kembali merampungkan tugas karena sedari tadi tidak ada percakapan lagi.
“Lo, gimana? Masih kayak kemarin?” tanya Fikri, mengganti topik.
“Sama. Kayaknya memang udah berakhir. Cuma, agak aneh saja, sih. Seneng udah balik kayak biasanya lagi, cuma aneh gitu tiba-tiba dari kemarin-kemarin kagak diganggu.”
“Ya, malahan bagus. Lo kagak stres lagi, dan semoga keluarga lo juga sama,” kata Fikri. “Oh, iya. Gimana masalah abang lo, si Anwar itu?”
Tugas yang hanya tinggal sedikit akhirnya selesai. Dhamar sudah bebas, bisa mengistirahatkan otak dan bisa leluasa mengobrol dengan Fikri. Sesuai jadwal, tugas selesai sebelum pukul sembilan, dia punya waktu cukup banyak untuk menghubungi keluarga.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...