Jika bisa memilih, tentu Rahayu akan memilih menetap di rumah sendiri daripada berada di kediaman mertua. Hidupnya jauh lebih buruk ketika berada dekat mereka, terutama dengan Yekti, ibu mertuanya.
Tidak hanya satu-dua kali dia diejek, dibanding-bandingkan, bahkan bertambah lagi sebagai penyebab kematian Aryo. Rahayu seakan-akan tidak bisa berkutat ketika di dekat mertua.
Telinganya akan panas ketika dibanding-bandingkan dengan perempuan lain, air mata tidak mampu dibendung tatkala dituduh penyebab kematian Aryo, kesabarannya pun selalu diuji ketika disindir mandul.
“Apa yang harus Rahayu lakukan, Bu? Aku tidak kuat jika terus-menerus seperti ini.” Rahayu berbicara sendiri sambil menatap cermin.
Sebenarnya, Rahayu memiliki rumah sendiri yang tentu saja jauh dari mertua. Akan tetapi, karena Wardoyo, ayah mertua, memintanya untuk menetap di sana, dia tidak bisa menolak. Wardoyo sendiri tidak sama seperti Yekti, laki-laki itu cukup baik, bahkan kerap membela ketika sang istri menyakiti hati anak mantunya.
Terhitung tujuh hari Rahayu berada di rumah mertua. Dia ingin pulang, tidak masalah hidup sendirian. Perempuan itu berniat akan mencari pekerjaan daripada dianggap menjadi benalu, seperti yang dikatakan Yekti dua hari yang lalu.
“Lompat ....” Samar, tetapi terdengar suara dari arah jendela.
Tidak ada siapa-siapa di dalam kamar. Meskipun samar, suara itu memang terdengar dari arah jendela. Namun, tidak mungkin ada orang di luar. Jelas-jelas tidak ada balkon, bagaimana bisa seseorang berada di sana?
Suara seperti itu sebenarnya sudah kerap terdengar dari dua hari yang lalu. Selama lima hari belakangan memang tidak ada apa-apa, semua terlihat normal. Tidak ada lagi suara bayi, mimpi buruk, bahkan penampakan. Namun, semenjak acara tujuh harian Aryo selesai, mulai muncul hal-hal aneh.
Rahayu memilih beranjak, lebih baik tidur meskipun masih pukul sembilan malam. Namun, belum juga menutup mata terlalu lama, dering HP mengganggu. Malas, tetapi tetap diangkat, siapa tahu penting. Panggilan berupa video call dari Dhamar.
“Ada apa?” tanya Rahayu. Lagi-lagi tumben Dhamar memanggilnya.
Dhamar mengutarakan maksudnya memanggil Rahayu. Dia ingin mempertanyakan masalah kabar sang kakak karena kata Herman, Rahayu tengah dirundung masalah.
Kemarin malam, Herman bercerita bahwa Rahayu merasa sendirian di rumah mertua. Tidak hanya itu, sudah lama adik perempuannya kerap menerima ejekan, bahkan sindiran oleh Yekti. Dia menyuruh Dhamar agar menjadi teman curhat Rahayu.
“Mbak kalau ada masalah, cerita, ya?” kata Dhamar.
“Kamu tuh sebenarnya kenapa, sih? Tumben banget jadi peduli.” Rahayu menjawab dengan candaan, terlihat aneh Dhamar bisa tiba-tiba peduli padanya.
Rahayu sebenarnya senang bisa bercakap-cakap dengan Dhamar, merasa tidak sendirian. Namun, karena sikap yang mendadak aneh dari sang adik itulah membuatnya merasa penasaran.
“Ya, enggak kenapa-kenapa, cuma bertanya. Aku tidak mau saja hal seperti Bang Anwar terjadi lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...