ADA APA DENGAN SRI?

293 22 0
                                    

“Besok, ya. Papa masih kerja. Kalau ada waktu, pasti papa jenguk,” kata Herman sewaktu ditelepon sang anak, Putri.

Jujur, dia sangat merindukan anaknya. Putri kerap hadir dalam mimpi, memanggil-manggil untuk diajak bermain bersama seperti dahulu. Rini sendiri sebenarnya tidak melarang mantan suaminya untuk menjenguk Putri, hanya saja Herman memang belum sempat.

“Papa kapan pulang?” tanya gadis berumur enam tahun itu.

“Iya, Putri yang sabar, ya? Besok, Papa pulang buat jenguk Putri.”

“Beneran, Pa?” Melalui telepon, Herman bisa mendengar gadis kecilnya teriak kegirangan.

“Iya, besok papa pulang. Putri mau dibawain apa?”

Herman tidak bisa menahan rindu dengan gadis kecilnya. Kali ini, dia tidak berbohong, besok akan pergi ke rumah mantan istrinya untuk mengobati rindu. Semoga saja, Rini tidak mempermasalahkan.

“Putri tidak mau apa-apa, hanya mau Papa pulang.”

Air mata Herman hampir menitik mendengar suara polos gadis kecilnya. Andai kata perceraian tidak terjadi, mana mungkin hubungan antara anak dan orang tua sampai renggang. Namun, menyalahi takdir tidak akan berpengaruh apa-apa. Herman memilih menjalani kehidupannya meski tanpa sokongan dari Rini, yang kerap memberi semangat padanya.

“Putri Sayang, papa mau bicara sebentar dengan Mama. Boleh?”

Terdengar teriakan Putri memanggil ibunya. Tidak berselang lama, Rini mengambil alih telepon dari tangan sang anak.

“Iya, Mas, ada apa?” tanya Rini. Meskipun sudah berpisah, nyatanya panggilan ‘mas’ masih terucap olehnya.

Herman sempat ragu mengutarakan niatnya. Namun, dia tidak tega jika sampai mengecewakan sang anak. Dia berjanji pada diri sendiri, tidak akan menghasut agar Putri mau ikut bersamanya. Biarlah sang anak diurus ibunya supaya bisa hidup lebih terjamin.

“Hemmm, besok mas mau ke rumah. Mas rindu dengan anak kita,” ucap Herman pada akhirnya.

Tidak mungkin jika Rini sampai menolak, Herman tahu mantan istrinya tidak sampai tega. Sebenarnya, dia bisa saja pergi tanpa izin, tetapi daripada nanti terjadi masalah, lebih baik tetap meminta izin.

Rini belum menjawab, Herman masih setia menunggu.

“Iya, Mas. Datang saja. Putri juga sering nyariin papanya. Aku besok juga lagi libur kerja.”

Lega rasanya mendengar persetujuan dari Rini. Herman merasa telah terjadi perubahan besar dalam diri sang istri. Salah satu contohnya adalah cara Rini berbicara, tutur katanya seperti Rini yang Herman kenal, lemah dan sopan.

Awal-awal mulai terjadi perang mulut, Rini menjadi judes, bahkan berani menaikkan nada bicara. Penyebab lain kenapa berujung cerai, selain Herman menjadi pengangguran, hasutan dari orang tuanya pun makin membuat yakin untuk tetap bercerai. Apalagi jika bukan karena ketidakcocokan antara anak mantu dengan mertua.

35 Hari Teror Ibu (TAMAT) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang