Motor Dhamar melaju menuju sebuah lokasi yang pernah didatangi. Tanpa ditemani Fikri, dia hendak mendatangi rumah milik saudara temannya untuk mengais informasi.
Satu jam berlalu, beruntung jalan yang pernah ditempuh masih diingat dengan baik sehingga tidak ada yang namanya tersesat. Rumah bercat putih itu sudah terlihat, motor segera berbelok.
Dari kejauhan, rumah itu sudah tidak terawat. Halamannya dipenuhi sampah dedaunan kering. Aura di sana terasa mistis, lebih dingin dari tempat lain. Meskipun begitu, rasa penasaran Dhamar harus dituntaskan.
Motor terparkir di depan gerbang. Langkahnya hendak memasuki pekarangan jika saja gembok pintu gerbang bisa dibuka. Tingginya memang sebatas dada, tetapi Dhamar tidak yakin menaikinya.
Jika sampai ada orang yang melihat, bisa dipastikan dapat menimbulkan masalah. Namun, karena sudah jauh-jauh datang, tidak mungkin dirinya pulang dengan tangan hampa. Dhamar terpaksa menaiki gerbang dengan harapan tidak ada seorang pun yang memergokinya.
Seperti saat pertama kali lewat, di sekeliling rumah kosong itu sangatlah sepi, seolah-olah para warga enggan dekat-dekat. Setelah berhasil naik dan loncat, langkah Dhamar memasuki teras rumah.
Udara terasa dingin, entah karena pengaruh pohon besar di samping rumah atau memang hawa sekitar memang berbeda dari tempat lain.
Tidak hanya pekarangan yang penuh sampah dedaunan, lantai kotor, begitu pun kaca jendela yang berdebu, bahkan jaring laba-laba bersarang di beberapa tempat, plafon pun bolong cukup besar.
Dhamar melihat keadaan rumah melalui jendela kaca. Keadaan di dalam sebelah dua belas dengan luar, sama-sama tidak terurus. Rumah itu seperti sengaja ditinggalkan, terlihat dari beberapa perabot rumah yang masih tersimpan di dalam.
“Hei, siapa kamu?” Seseorang berteriak, mengagetkan Dhamar yang masih menyelidiki bagian dalam rumah.
Dhamar langsung berbalik, detak jantungnya mendadak berdebar-debar, seolah-olah seperti seorang maling yang tertangkap. Di depan motornya, terlihat seorang laki-laki paruh baya yang tengah memandangnya dengan tatapan tidak ramah.
Bagaimanapun juga, Dhamar mengakui kesalahannya. Dia masuk rumah orang tanpa izin, wajar jika dipandang seperti itu. Dia berharap, tidak akan terjadi apa-apa.
“Siapa kamu? Sedang apa di rumah itu? Ada perlu apa?” Laki-laki berkulit cokelat dengan tubuh bisa dikatakan kekar itu masih mencecar Dhamar.
Melihat tatapan laki-laki itu yang tidak ramah, Dhamar justru dibuat takut. Dia memperkenalkan diri, sekaligus mengatakan jika tidak memiliki niatan buruk masuk rumah seseorang, hanya sekadar penasaran, tidak lebih dari itu.
“Sekali lagi saya minta maaf sudah lancang memasuki rumah orang tanpa izin. Saya benar-benar tidak ada niatan apa-apa,” ujar Dhamar, masih mencoba meyakinkan laki-laki di hadapannya.
Laki-laki itu memandang Dhamar intens. Jika dilihat-lihat, orang di hadapannya tampak asing, seperti jauh dari tempat tinggalnya ataupun dari desa tetangga.
KAMU SEDANG MEMBACA
35 Hari Teror Ibu (TAMAT)
HorrorJuara Tiga Parade Menulis Kematian Rukmini berpengaruh besar bagi anak-anaknya. Herman, Rahayu, Anwar, dan Dhamar hidup dalam ketakutan. Meskipun begitu, mereka tidak tinggal diam, lantas mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pada akhirnya, Rah...