Semilir angin malam menerpa dua pasang kepala yang ricuh dalam kesunyian. Dinginnya betadine kala bertemu kulit yang mengelupas tak lagi mampu Jeongin rasakan. Dia terdiam; tidak meringis atau pun mengoceh seperti biasanya. Lekuknya seolah hanya ingin menikmati setiap suapan kwetiau yang musuhnya belikan di tengah kondisi dirinya duduk di sofa dan Hyunjin sibuk mengobati luka di kakinya yang hampir membengkak.
"Enak?"
"Lumayan. Cocok di lidah gue, beli dimana lo?"
Kalimat penasaran yang keluar dari celah bibir manis Jeongin mengundang lengkungan tipis di bingkai Hyunjin. Ucapannya direspon dengan baik saja sudah satu hal yang langka, apalagi dibalas dengan begitu panjang. Jantung Hyunjin jadi berdebar.
"Kepo lo?"
"Brengsek! mampus aja sana lo bangsat!"
Hyunjin terkekeh senang. Garis matanya menghilang seiring dengan mimik muka kesal milik Jeongin yang terlihat lucu di pandangannya.
"Susah elasinnya, Pipi bolong. Tempatnya itu agak masuk gang, lo kalo mau lagi bilang aja ke gue nanti gue beliin."
"Bacot, udah ga pengen gue."
Masih dengan kekehnya yang tipis, Hyunjin mendengus geli. Ah, tempramen musuhnya itu memang benar-benar yang terburuk.
Buruk sekali; sampai-sampai Hyunjin ingin membuat remaja itu terbuai hingga tenang.
"Kalo udah selesai lo naik aja ke kamar gue terus ganti baju, badan lo bau miras gini enek gue." ujarnya sembari membereskan betadine dan kapas yang berserakan. "Timbang tidur semalem di sini ga bakal bikin lo mati dari pada maksa balik terus ketangkep polisi. Gue tau isi palak lo omong-omong." sambung Hyunjin datar.
Merasa tidak menemukan alasan yang masuk akal, Jeongin akhirnya menyerah. Bisa mati dia kalau anak sekolahan tau dia bermalam di rumah Panglima. Tapi, kalau ketangkap polisi dan keluarganya dihubungi, dia juga bisa digebukin sampai mati. Intinya, mau di sini atau di jalanan, ada banyak kemungkinan dia berakhir tragis. Jeongin menghembuskan nafasnya kasar kemudian beralih menatap Panglima yang berada di dapur.
"Kamar lo di mana, Hyun?"
"Naik aja, kamar pojok pintu putih yang depannya ada piano— eh bentar, lo manggil gue apa tadi?"
"Anak setan."
"Bukan anjing, lo manggil gue Hyun tadi."
Jeongin memutar bola matanya malas. Intonasi kaget dan menggebu-gebu Hyunjin sungguh berisik di telinganya. "Udah tau masih nanya."
"Tapi lo ga pernah manggil nama gue, anjing!"
"Bacot babi ga usah teria-"
"LO SUKA SAMA GUE YA?!"
"APA SIH ANJING GA JELAS LO BANGSAT! ANAK SETAN!"
✧✧✧
Jika di ingat-ingat, ada banyak hal yang terjadi akhir-akhir ini. Dimulai dari olimpiade kimia, bikin rusuh dengan guru BK dan anak-anak OSIS, tawuran dengan warior, salah paham dengan geng Elang yang berakhir temannya masuk rumah sakit. Jika dia manusia biasa, mungkin saja napasnya sudah tercekat sampai sekarat. Memikirkan itu saja, si pemilik lesung pipi tersenyum sinis.
Tak ingin gelisah berlarut dalam benaknya, mata rubah itu menelisik singkat kamar milik musuhnya itu. Bersih dan rapi yang pertama kali terlintas di benaknya. Memang tidak seluas kamarnya di cluster, namun juga tidak sempit hingga membuatna sesak karena kenyataan— kamar ini terlampau hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pancaroba • Hyunjeong
Novela JuvenilAwalnya musuhan, tau-tau perhatian. Yang satu biang onar, yang satu lagi demen bikin kerusuhan. Kapten dan Panglima, ini kisah remaja mereka. • "Kalo gue buat lo suka sama gue gimana, Kapten?" "Najis gue suka sama anak setan kayak lo." cr. bhluewry