Danisa melirik ke arah Samudera yang mengeraskan wajah. Lelaki itu tampak benar-benar marah. Ia seperti orang kesetanan. Mengebut sembarangan di jalan raya.
Ia mendesis kecil. Memang ada yang salah dengan omongannya?
Beberapa hari belakangan ini, Samudera memang sering mengejutkannya dengan hal-hal aneh dan semuanya membuat jantung Danisa tidak berhenti berolahraga untuk terus memompa darah tak karu-karuan.
Ajakan kencan, pujian-pujian kecil, dan ciuman di pipi yang dilayangkan dua hari lalu membuat Danisa semakin uring-uringan. Seharusnya, ia tetap dengan Kiano. Seharusnya, hati dan perasaannya hanya untuk Kiano. Kenapa sekarang, dia jadi bimbang?
Lagipula, semua ini hanya pura-pura. Danisa menarik napas. Apa yang bisa ia harapkan? Tiba-tiba seorang Samudera Banyu Kencana bisa menyukainya, begitu? Jika kakaknya saja berpacaran dengan perempuan seperti Gwen, jika Samudera katanya menolak Isabella, lalu setinggi apa selera lelaki itu? Setinggi langit dan sedalam samudera?
Danisa mengingat pembicaraannya tadi dengan Kiano ketika bertemu dengan lelaki itu di depan rumahnya.
"He is such a player, Sa. No offense, but... lo bisa dapat yang lebih baik daripada Samudera." Kiano berucap ketika Danisa menolak ajakan pergi bersama pagi tadi.
Danisa mendecih kecil ketika Kiano berucap demikian. Terus siapa lebih baik daripada Samudera? Lo yang pacaran sama Isabella?
Tetapi, kalimat Kiano ada benarnya. Samudera is a player. Dan semua yang Samudera lakukan mungkin hanya aksi yang biasa dilakukannya pada gadis-gadis lain yang jadi pacar main-mainnya. Seharusnya, Danisa tak memasang ekspektasi untuk kemudian diruntuhkan, bukan?
Canggung masih terasa ketika Danisa dan Samudera turun dari mobil. Tak ada yang berbicara. Danisa memilih berjalan dengan cepat ke kantin. Karena tadi Samudera mengajaknya makan pagi, Danisa tak menyempatkan diri untuk sarapan. Jadi, ia putuskan untuk mampir sebentar, mencoba peruntungan kalau ada kios yang buka pagi hari.
Pilihan Danisa jatuh ke kios bakmi ayam yang sudah buka. Tak ada opsi lagi, Danisa memesan semangkuk bakmi ayam komplit sebelum duduk di mejanya yang biasa. Ia mengambil ponsel. Tangannya bergerak ke arah media sosial namun matanya malah terpaku pada unggahan Samudera dua hari lalu.
Lelaki itu dengan sintingnya memotret hasil photobox dengan Danisa. Ia tak menulis kalimat panjang, hanya sebuah simbol hati warna merah muda. Tetapi unggahan itu, cukup untuk membuat hati Danisa mencelos. Danisa berusaha meyakinkan dirinya sendiri: ini cuma pura-pura.
Tak lama, seorang pegawai datang membawakan dua mangkuk bakmi. Tunggu, dua?
Danisa mendongak. Di belakang pegawai itu, ada Samudera yang berdiri dengan bersandar pada tongkat. Ia mengucapkan terima kasih sebelum ikut duduk di hadapan Danisa.
"Ngapain lo?" tanya Danisa sengit.
Samudera mengangkat alis sambil mengambil satu mangkuk bakmi miliknya. "Makan," jawabnya. "Gue belum sarapan."
Danisa mendesis. Ia mengambil sumpit dan mulai melahap bakminya. Danisa akan menganggap Samudera transparan.
Tetapi, kenyataannya tak sesuai rencana. Danisa berulang kali tergoda mencuri pandang. Berkali-kali menahan napas pada wajah dingin lelaki di hadapannya.
Kiano dan Samudera adalah dua kutub yang berbeda. Buat Danisa, Kiano hangat dan terang seperti mentari di pagi hari. Sementara, Samudera bagaikan laut yang dingin dan gelap. Tetapi, dua orang itu mampu menarik perhatian Danisa dalam frekuensi yang berbeda.
Danisa buru-buru menggeleng kecil sambil mengenyahkan pikiran-pikiran aneh di kepalanya. Sejak dulu, tipe pacarnya ya Kiano. Titik!
"Sa, kita mau marahan sampai kapan?"

KAMU SEDANG MEMBACA
PERFREAKTION
JugendliteraturBagaimana rasanya kalau tiba-tiba satu proyek dengan orang yang disukai? Melayang? Kurang lebih, itu yang dirasakan Danisa ketika Kiano mengajaknya bergabung dalam tim Publikasi-Dokumentasi Festival Sekolah. Walaupun Samudera-si anak kepala yayasan...