Bab 1

72 11 0
                                    

2 Tahun Berlalu

Melupakan bukan perkara mudah apalagi ikatan itu sudah masuk ke jenjang pernikahan. Vonis infertilitas menjadi awal dari sebuah kegagalan pernikahan.

Disini siapa yang mau memiliki penyakit ini? Tidak ada. Tetapi Tuhan-lah yang menguji setiap hamba sesuai dengan kemampuannya. Pernah Kelabu merasa marah akan takdir yang berjalan di hidupnya. Kecewa akan semua yang ada, tapi Kelabu tidak bisa mengubah. Yang ada hanya rasa lelah yang selalu menggerogoti disaat rasa itu datang. Lantas apa yang bisa Kelabu lakukan disaat semua orang tidak peduli kepadanya?

Ya, Kelabu hanya bisa berpasrah akan Tuhan. Jiwanya yang rapuh selalu menyuarakan bahwa ia bisa, Kelabu bisa melaluinya, dan semoga selalu kuat menghadapi permasalahan hidup yang tidak akan ada habisnya.

Tetapi Kelabu manusia biasa yang membutuhkan rumah, rumah untuk pulang setelah berperang dengan semua permasalahannya. Tapi apakah rumah itu akan terbuka untuknya? Disaat dulu Kelabu pernah menggoreskan luka?

Sekarang, Kelabu tengah menatap rumah yang dulu pernah ia tempati, rumah yang menyimpan kenangan indah dengan keluarganya. Ah, mengingat hal itu membuat Kelabu merasa bersalah.

"Mba Kelabu?" Sapa Bi Inah yang sudah melihat mobil Kelabu terparkir jauh dari perkarangan rumah. Bi Inah selalu mengamati mobil Kelabu setiap ia datang, awalnya Bi Inah mengabaikan tetapi setiap hari Sabtu pasti mobil itu datang, dan ternyata Kelabu pemiliknya.

Kelabu mengusap ujung matanya, ia bergegas membuka kaca mobil. Nampak dari netra Kelabu melihat wajah perempuan paruh baya yang sangat berjasa di hidupnya tengah tersenyum kepadanya. "Bibi, masuk Bi." Kelabu tidak mungkin keluar, ia mempersilakan Bi Inah masuk ke dalam.

"Kenapa Mba nggak masuk?" Bi Inah memeluk tubuh majikannya itu sebelum bertanya akan alasan Kelabu tak masuk ke dalam. "Nggak Bi, bagaimana kabar Bapak Ibu?" Kelabu belum berani pulang, ia masih takut akan penolakan mereka. Apalagi ada alasan yang kuat membuat kedua orangtua Kelabu merasa kecewa kepada putrinya itu.

"Bapak Ibu sehat Mba, ya terkadang capek."

"Syukurlah." Yang terpenting Kelabu tahu kondisi kedua orangtuanya. "Mas Lana Bi?" Kelabu dan Kelana adalah saudara kembar, dimana Kelana waktu Kelabu diusir tengah belajar di luar negeri.

"Mas Lana sudah pulang Mba, akhir tahun lalu." Kepala Kelabu mengangguk, Lana ternyata sudah kembali tetapi pria itu belum menemuinya. "Dia di rumah Bi?"

Bibi Inah menggeleng, "Mas Lana tinggal di apartemen daerah Peterongan." Itu tidak jauh dari rumahnya, akhirnya Kelabu meminta alamat apartemen Lana. Kelabu ingin berkunjung dan menghabiskan waktu dengan kembarannya itu.

"Terimakasih ya Bi, besok kalau Bapak dan Ibu ada apa-apa hubungi Kelabu ya." Bi Inah mengangguk patuh, setelah melihat Bi Inah kembali ke dalam rumah. Kelabu menjalankan mobilnya ke arah apartemen Lana. Ia ingin bertemu dengan pria yang dulu selalu ada untuk dirinya.

"Kalau kamu menikah dengan pria itu berarti kamu harus keluar dari rumah ini. Dan satu lagi Bapak dan Ibu tetap pada keputusan awal, tidak akan merestui kalian." Putus Hendri saat putrinya meminta restu kembali. Hendri dan Luna tidak yakin jika pria pilihan putrinya akan bisa membahagiakannya. Bukan tanpa alasan, karena di mata Hendri, Aldo adalah pria yang lemah dan dari keluarga sederhana. Sedangkan keluarga Hendri bisa dibilang menengah ke atas.

"Tapi Pak."

"Silakan kamu menikah, tetapi ingat jika saat itu juga kami tidak akan mengakui kamu sebagai anak." Hendri adalah tipe pria yang keras, dan sifat itu menurun ke sang putri.

"Hanya Aldo yang mau menerima Kelabu, Pak." Kelabu memohon kembali. Bagi Kelabu, Aldo adalah pria yang baik dengan sikap yang santun.

"Kamu belum melihat luasnya dunia."

Ingatan itu selalu hilir mudik di dalam kepalanya, dulu Kelabu selalu bertanya akan alasan Hendri menolak hubungan keduanya. Tetapi Hendri tidak pernah menjelaskan, dan sekarang baru disadari jika penolakan Hendri pasti ada kaitannya dengan sikap dan keluarga Aldo.

Kelabu berdiri di depan pintu apartemen menunggu sang pemiliknya membukakan. Hingga tak berselang lama Lana membuka pintu dan terkaget akan sosok tamu yang datang. "Kelabu... Ya Tuhan kamu disini." Lana memeluk tubuh kurus Kelabu dan mempersilakan masuk. Sungguh Lana sangat merindukan adiknya itu.

"Ya Tuhan apa yang terjadi?" Lana melihat tubuh yang dulunya berisi itu berubah mengecil, bahkan wajah yang biasanya segar berubah pucat. "Panjang ceritanya, aku nggak bisa jelasin. Tapi aku sedang sakit." Hanya itu yang mampu keluar dari kedua bibir Kelabu. Vonis beberapa tahun lalu membuat dirinya hancur tetapi ia masih bisa bertahan dengan mengonsumsi beberapa obat meskipun rasa sakit itu tetap akan datang.

"Aldo bajing*n." Maki Lana dengan kedua tangan yang mengepal, sungguh pria itu ingin menghajar pria yang dulu pernah ia temui untuk meminta restu. "Sudah Lana, semuanya sudah selesai." Sudah dua tahun hubungan itu selesai. Dan Kelabu sudah berdamai.

"Kamu terlalu baik untuk dia, bahkan kamu tidak menuntut apapun yang dia miliki." Lana sangat ingin menghancurkan hidup Aldo.

"Please jangan bahas dia lagi boleh?" Pinta Kelabu lembut, dirinya sudah bisa berdamai akan posisinya sekarang. "Baiklah, kamu mau apa Dek?"

Kelabu menatap Kelana dengan pandangan memohon. "Aku senang kamu disini Lana, tapi boleh aku meminta satu hal."

Lana mengangguk, ia mana bisa menolak disaat fisik adiknya sangat memprihatinkan?

"Temaniku untuk periksa besok, jujur aku nggak tahu berapa lama umurku tersisa." Tubuh Lana sontak kaku, ia menatap Kelabu dengan tatapan prihatin. "Jangan bercanda, kamu menemuiku untuk berbicara seperti ini?"

Kelabu mengangguk, rasa sakitnya semakin hari semakin parah. Tindakan yang seharusnya ia lakukan beberapa tahun yang lalu ternyata membuat penyakitnya menggila.

Lana memeluk tubuh ringkih Kelabu, dulu Lana berpikir saat Kelabu menikah maka Kelabu akan dicintai utuh oleh suaminya tetapi kenyataan berbanding terbalik.

"Besok aku temani." Hanya itu yang bisa Lana ucapkan, karena psikis Kelabu hanya membutuhkan dukungan. "Bapak Ibu tahu kondisi kamu?"

Kelabu tak bergeming, ia merasa memiliki banyak dosa kepada keduanya dan menyembunyikan penyakitnya adalah jalan terbaik. "Belum, ya? Yaudah besok aku temani."

Tbc

Cerita ini sudah TAMAT di Karyakarsa

Kelabu ✔ (Tamat di Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang