Review Novel Hilda

0 0 0
                                    

Novel : Hilda
Penulis : Muyassarotul Hafidzoh
Penerbit : DIVA Press
Tebal : 480 halaman
ISBN : 978-623-293-485-6

Judul buku ini diambil dari nama tokoh utama wanitanya. Sempat berpikir seberapa hebat Hilda berperan dalam buku ini, sampai-sampai dia dijadikan judul oleh penulis?

Hilda memang bukan perempuan biasa, sepintas orang melihat predikat sempurna pasti melekat padanya. Dia cantik luar dalam. Tidak hanya cerdas dalam akademik, dia juga jago memasak dan mampu mengerjakan banyak hal. Hobi utamanya membaca, kemudian atas bimbingan keponakan Ibu Nyai--pemilik pondok tempat dia belajar dan tinggal--yang bernama Wafa, Hilda berani menulis opini dan hampir setiap tulisannya dimuat dalam surat kabar.

Novel tebal dengan tampilan huruf yang lumayan kecil-kecil --menurut mata saya yang menggunakan kaca mata--penyajian cerita yang menggunakan alur campuran mampu menepis rasa bosan serta berhasil mengungkap masa lalu Hilda pelan-pelan. Pembaca akan penasaran ada apa dibalik kesempurnaan wanita yang juga gemar mengikuti seminar ini.

Pov tiap bab juga berganti-ganti antara pov 1 dan 3 mampu disajikan penulis dan semakin membuat semakin terang titik permasalahan yang terjadi.

Dibalik kesempurnaan Hilda, santri kebanggan Ibu Nyai, ternyata dia pernah di p e r k o s a dalam keadaan tidak sadar oleh laki-laki yang tidak diketahuinya. Laki-laki itu melakukannya atas bantuan sahabatnya mencampur obat dalam minumannya saat pentas seni di sekolah SMA. Namun, ketika hendak melaporkan kejadiannya ke kantor Polisi tidak ada saksi dan barang bukti. Sahabat Hilda, satu-satunya saksi meninggal karena menggugurkan kandungannya.

Sampai di sini aku seperti henti napas. Separah ini pergaulan anak-anak tanpa paham apa akibatnya ke depan, tentu penulis juga tidak sekedar menulis tanpa melakukan riset terlebih dulu.

Trauma akibat per ko s a a n begitu melekat di hati dan jiwa Hilda. Trauma masa lalu itu menyebabkan dia ketakutan disentuh laki-laki, dan itu belum sembuh walaupun sudah dilakukan berkali-kali terapi.

Masalah menjadi semakin pelik ketika Ibu Nyai menjodohkannya dengan Syam--cucu laki-laki teman Ibu Nyai.

Mampukah Syam menyembuhkan traumanya? Atau justru Syam membuka luka baru untuk Hilda?

Bagaimana juga dengan Wafa, pembimbing sekaligus penyemangat Hilda untuk menulis opini pada harian surat kabar yang ternyata juga menyimpan rasa untuk Hilda.

Akankah Hilda mampu menghapus trauma itu dan siapakah akhirnya laki-laki yang bisa menjadi pengobat luka masa lalunya?

Novel yang setting kejadiannya banyak mengambil tempat di Pondok yang terletak di Jawa Tengah ini membahas tuntas trauma akibat per ko s a a n dan solusinya serta terselip banyak nasehat untuk perempuan.

Berkali-kali hampir menitikkan air mata dengan kisah Hilda, tapi juga rasa puas dan bangga dengan perjuangannya menuntut ilmu, bekerja dan bangkit menghapus trauma masa lalu.

Semoga buku yang mengangkat akibat berkepanjangan kekerasan s e k s ua l, bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua.

Banyak yang menyimpulkan p e r k o s a a n terjadi karena korban tampil menggoda dan pelakunya orang tidak dikenal. Namun, tidak jarang korban penampilannya sopan dan tertutup serta pelakunya ternyata orang yang senantiasa dekat dengan kita.

Pesan utama yang tersampaikan berkaitan dengan tema novel ini, "jika laki-laki tidak bisa menahan hasratnya ketika memandang perempuan, maka tundukkan pandangannya dan berpuasa. Bukan malah mem p er k os a perempuan, meski pun dia tidak menutup aurat. Jangan jadikan mereka sebatas objek s e k s u al!!!

Tamat

Review bukuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang