04

2.7K 266 6
                                    

Langit biru masih menyambut Binar ketika keluar dari gedung Arsitektur. Senyumnya sumringah karena hal seperti ini jarang terjadi. Tugas sudah selesai, nilai yang didapat sangat memuaskan dan bisa keluar studio lebih cepat dibanding yang lain, meskipun memang masih ada yang lebih cepat darinya.

Sambil menunggu jemputan Giardi, gadis itu duduk-duduk di depan gedung. Meletakkan tas laptop super mahal yang didapat dari hasil kerja sampingan ditambah sumbangsih teman-teman sekelasnya.

Beruntung sekali punya teman-teman yang sangat kompak dan saling tolong menolong. Kecuali dalam tugas, semuanya hidup masing-masing. Akan membantu jika tugasnya sendiri telah selesai.

Trrt trrt trrrt.

Binar pikir Giardi yang menelepon, ternyata dari Maisa. Sudah cukup lama mereka tidak bertemu. Terakhir, tetangga yang sudah ia anggap sebagai saudara sendiri itu bercerita tentang kisah cintanya yang tidak semulus jalanan di pulau Moa.

"Assalamu'alaikum, Mbak Mai. Tumbenan langsung telepon. Ada yang urgent, kah?"

Dari percakapan singkat di telepon dengan Maisa, pulang dari kampus ia meminta Giardi untuk menurunkannya di masjid. Mereka membuat janji di sana sebelum Maisa mengajar ngaji.

Kedatangannya sudah disambut dua orang sahabatnya. Yang satu Maisa dan satunya lagi Fumi. Mereka semua lebih tua dari Binar. Ia tidak punya teman sebaya. Dulu remaja cewek di kampung bukan cuma mereka, tetapi banyak yang merantau, jadi tinggal Binar, Maisa dan Fumi yang tersisa.

"Ada apa, Mbak? Kok resah gitu? Mas Gata udah fix nggak dapat restu Pak Ba'ah sama Bu Wid?" tebak Binar setelah mereka duduk di bangku cor tepian tempat parkir.

"Mulutmu, Bin!" sahut Fumi tetapi mendapat anggukan Maisa. Jadi Binar menjulurkan lidah pada wanita yang masih berseragam sebuah departemen store nasional.

"Ayah sama ibu nunjukin macam-macam fakta tentang dia, Bin, Fum."

Binar dan Fumi saling menatap mencari tahu padahal mereka sama-sama tidak punya jawaban. Ujung-ujungnya kembali menunggu kelanjutan cerita Maisa.

"Aku belum yakin tentang itu, tapi gosipnya, dia tuh cowok nakal. Dia itu pemakai narkoba dan katanya ... mm ... katanya ...."

"Hamilin anak orang, Mai?" tebak Fumi.

"Hush! Nggak mungkin, lah. Orang yang ngelamar Mbak Mai nggak mungkin orang yang nggak bener. Apalagi dia orang kaya. CEO kalau nggak salah," timpal Binar.

Binar sudah pernah bertemu dengan keluarga dari pria yang melamar Maisa. Sengaja tidak pernah ia sampaikan pada Maisa karena malas menjelaskan sesuatu yang tidak penting. Selain itu, Binar harus menjaga perasaan sahabatnya karena wanita itu belum pernah bertemu keluarga besar Gata. Hanya pernah bertemu ibu pria tersebut. Ia takut membuat iri Maisa.

Awalnya Binar tidak tahu siapa orang-orang itu. Sempat curiga karena gaya bicara dan penampilan bapak tua yang ditemuinya di depan toko roti itu lumayan berbeda. Tidak ada barang branded, tetapi pakaiannya dari bahan yang cukup bagus dan Binar yakin jika itu custom.

Ia sudah curiga, pasti bukan orang sembarangan. Ternyata benar, pulang dari toko roti itu dia cek akun pria tersebut, ternyata dia adalah salah satu nyawa penyambung pendidikannya.

Atmadja Widjaya, pemilik GiNus Group, perusahaan yang memberinya beasiswa. Beruntung ia menjaga sikap dan langsung meminta maaf pada putranya yang pernah Binar siram dengan air pel. Jika tidak, ngeri sudah gimana nasib pendidikannya.

"Pastikan dulu ke orangnya, Mai. Kalian itu mau nikah, harus tahu seluk beluknya," ujar Fumi. Binar hanya mendukung dengan anggukan.

"Iya itu, katanya dia itu player, Fum, Bin." Maisa bergantian menatap wanita di samping kanan dan kirinya.

Last Project [END- TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang