Lughoh

13 2 9
                                    


Aku tidak pernah diajarkan menghujat, menghina, mengolok. Setiap kali aku melakukan kesalahan dirumah, Ibuk dan Bapak selalu menasehati, tidak seharusnya aku melakukan hal itu. Sebelum aku menjejakkan kaki diatas tanah gedung asrama ini aku juga mendapat pesan dari Bapak untuk terus belajar dan jangan jadi anak yang bandel, yah, seharusnya apa yang aku ingat ini benar sih.


Tapi saat ini keadaan membuatku ingin mengamuk, aku tidak terima dengan ucapannya, dengan cara ia menatap hina kami semua. Aku tidak terima.

"Limadza? La tastati' takallam bil lughoh arabiyah, huh?"
Kenapa? Ngga bisa ngomong pake bahasa arab, huh?

Aku mengerutkan dahi. Mulanya memang sempurna bingung apa yang sedang dia ucapkan. Aku sama sekali tidak paham bahasa arab, itu sebabnya bapak mendaftarkanku masuk ke kelas experiment class selama setahun, untuk belajar bahasa arab dari nol.

"Idzan la tastati' uskut faqot. Insan minal kharij!" Ketusnya.
Kalau nggak bisa diem aja! Dasar anak dari luar!

Teman sekamarku yang terdaftar dari sekolah umum hanya menunduk tidak paham dengan apa yang diucapkan. Diam seperti aku mendengarkan ceritanya, geram sendiri.

"Seriusan dia bilang begitu!" Tiara berseru dari sebelahku.

Aulia menunduk, masih membayangkan bagaimana Putri menyombongkan diri dihadapannya, berbicara menggunakan bahasa arab seperti itu hanya karena kami anak umum yang tidak tau bahasa arab.

"Jahat banget sumpah Ukh!" Tiara bersungut.

Ucapan Putri memang keterlaluan, caranya ia memperlakukan kami. Kami tau anak dari luar selalu membawa kamus setiap pergi dari kamar, atau saat tengah mengobrol, tapi tidak seharusnya Putri merendahkan kita. Kita juga tau apa yang Putri ucapkan setelah mendapat bantuan dari Zakya, teman baik yang masa SMP nya dulu di pondok, teman samping ranjangku, baik sekali, kami berteman cepat.

Kami memang sebal dengannya tapi bukan berarti begitu ia bisa seenaknya meski pada akhrinya kita tidak melakukan tindakan apapun. Setiap dari anak luar terkena semprot bahasa Arabnya kami akan berkumpul dikelas, bercerita apa yang dilakukan Putri kepada masing-masing, dan jika sudah kelewatan kita melapor pada Ustadzah asisten kamar.



Pagi itu aku kembali dari ruang makan. Aku selalu berangkat lebih awal, jarang mengajak teman, duduk sendiri di tengah aula ruang makan dan kembali ke kamar juga sendiri. Putri berdiri di ambang pintu, menyandarkan bahunya, mengangkat sebelah alisnya sambil menghadang, berkata, "Ay-yu Idam?"

Aku terdiam, "What do you mean?"

"Ay-yu Idam!?" Nadanya semakin naik.

"Hah??" Aku semakin tak paham.

Putri tersenyum miring, "Oh lupa kalau anak luar, nggak belajar bahasa Arab. Artinya, Lauknya apa? Gitu aja nggak tau!" kemudian ia tertawa keras.

Aku mendengus, "Tofu. Only just i can't use arabic, it doesn't mean i can't use english. English also the official language."

Kutinggalkan Putri bersama Sherly, kawannya dari pondok lamanya. Aku punya firasat buruk bahwa aku tidak akan pernah menyukainya.

Pelan-pelan aku belajar bahasa arab  hingga aku tau betul arti dari kalimatnya, benar-benar menyakitkan!  Memang tidak benar sempurna, karena nyatanya Putri juga masih belajar menggunakan bahasa Arab, persis seperti kami semua.

cerita tanpa suaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang