Mika dan Elien

5 1 7
                                    

Sudah lama aku tidak menghubungi Orangtuaku, entah dengan menitipkan pesan kepada Us.Nabila atau lewat Mbakku. Sebenarnya itu hal yang normal tapi entah kenapa mendadak Mbak memanggilku menggunakan toa asrama, pukul lima setelah makan sore--makan malam.

"Ibuk mau video call." Ujarnya lantas memberikan hp kepadaku.

Aku menerima hpnya, mencari nomor ibuk dan segera membuka panggilan video call.

Wajah Ibu terpampang jelas disana. Keriput yang sudah lama tidak kulihat melalui mata secara langsung. Mataku panas dengan segera mengalirkan air.

Tangisku pecah dengan mudahnya bahkan sebelum ibu menanyakan apa kabarku. Kuabaikan semua tawa kecil teman mbak dibalik pembatas, aku fokus pada Ibukku, pada obrolan ringan yang kemudian kami lanjutkan sampai hampir adzan maghrib.

"Icha, kamu sudah tau belum kalau Mika sama Elien pergi?" Mbak berseru dari balik pembatas kamar.

Aku tersentak. Itu detik-detik akhir sebelum Ibuk mematikan telepon.

"Buk,  Mika sama Elien.. pergi?" tanyaku, mataku kembali berlinang air mata.

"Aduh, Mbak itu udah dibilang buat rahasiain kok!" Ibuk terlihat berkacak pinggang, menyalahkan Mbak.

Mbak menepuk dahi, merasa bersalah. Air mata kembali menghujani pipiku. Adzan berkumandang, sebelum kakak kelas akhir mendaur kita sudah harus lebih dahulu masuk mushola.

"Sudah ya cha?" Mbak muncul dengan mukena.

Ibuk melambaikan tangan, mengucapkan salam, padahal tangisku belum selesai.

Aku membawa tangisku ke masjid, basah sempurna. Setiap bangkit dari sujud aku menyedot ingus, pusing rasanya memang tapi bagaimana lagi. Selesai sholat aku tidak langsung bangkit, masih mendoakan kepergian Mika dan Elien, ibu dan anak kucing yang kusayangi semasa dirumah. Pergi disini dalam artian pergi dari rumah, mencari rumah baru.

Padahal aku begitu menyayangi mereka, huhuuuuuuuu

Aku masih menangis.

"Cha? Kamu kenapa?" Safira, anak kamarku merangkul, mengusap pundakku.

Aku makin terisak.

"Kamu kenapa Cha? Laper?"

Aku menggeleng, menangis semakin keras.

"Kenapa? Kangen Umi? Abi?"

Aku menggeleng lagi.

"Terus kenapa??"

"Kucing.."

"Kucing?"

Aku mengangguk, "Kucingku pergi.."

Entahlah, aku juga tidak tau kemana urat maluku pergi pada saat itu, menangis sejadi-jadinya dibarisan tengah mushola, tidak peduli kepada pandangan orang lain. Safira menepuk pundaku, aku yakin dia menganggapku lebay dan alay, hanya karena kucing yang hilang aku menangis seperti ini.

"Nggak apa Cha, aku tau apa yang kamu rasain.."

Dugaanku salah. Rupanya Safira juga memiliki pengalaman yang sama, ia menuntunku menuju ke kamar, menuntaskan tangis dikamar sambil mengajak cerita bersama soal kucing-kucing kami. Malam itu jadi malam dimana kami nostalgia bersama para kucing tercinta.

Ntahlah memalukan memang..

cerita tanpa suaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang