1

1.1K 114 18
                                    



 All Are Ready, Only Lack East Wind

(万事俱备,只欠东风)


Perth, 2019

"We could get married." Lelaki bule dengan rambut pirang dan mata biru di depanku memandang dengan tatapan memohon. "Please, Zen. Don't leave me like this," ucapnya dengan nada meminta jauh lebih dalam.

Aku melepas kedua tangannya yang menyentuh lengan atasku dan membawanya pada genggaman lembut. "Cardif, I can't get married—" lirihku dengan kalimat tegas.

Baru aku mengucapkan sepenggal kalimat itu, dia sudah menyemburku dengan kalimat lainnya.

"Whatever you want, Zen, just don't go to Jakarta. Stay here with me, please."

Helaan napas panjang aku keluarkan dengan raut wajah lelah. Ini sudah kesekian kalinya sejak semalam kami berdebat di apartemenku perihal aku yang akan meninggalkan negara ini untuk pulang ke negara asalku. Cardif masih saja dengan keras kepala memohon dan mencoba untuk membuatku tetap tinggal di sini.

"I can't live without you, I really love you so much." Cardif meraihku ke dalam pelukan yang erat dan membisikan kalimat-kalimat manisnya untuk aku bisa tetap tinggal di kota bagian barat Australia ini bersamanya.

Namun semanis apapun ucapannya, semenjanjikan apapun janjinya, seindah apapun kota ini dan sebaik apapun orang-orang di dalamnya, aku tetap harus kembali ke Jakarta hari ini.

Tangan kananku terangkat untuk menepuk pelan punggung Cardif dan mencoba menenangkan lelaki itu, sampai sebuah suara memanggil namaku dengan sangat keras.

"Zenaida!"

Aku dan Cardif secara cepat menoleh ke arah suara itu berasal dan menemukan lelaki tinggi putih dengan wajah maskulinnya yang kucal sedang mengatur napasnya yang sepenggal-penggal. Kemeja biru muda tipis yang dikenakan di tubuh besarnya itu nampak tak rapi dan lecak dengan dua kancing teratas terbuka. Did he just get out of his bed?

Kedua bola mataku berputar jengah melihatnya menghampiri dengan raut bingung. Langkah kakinya semakin cepat tatkala Cardif justru menarikku ke dalam rangkulan eratnya seolah was-was dengan kedatangan lelaki besar itu.

Tangan lelaki yang menghampiri aku berdiri sekarang sudah terkepal sempurna dan wajahnya semakin terlihat jelas kalau dia sedang kesal,

"What the hell—"

Aku mengangkat sebelah tanganku untuk menghentikannya berbicara—yang nampaknya akan melontarkan rentetan umpatan kasarnya padaku, ketika dia sampai dua langkah di depanku yang masih ada dalam rangkulan erat Cardif.

"Stop!" ucapku dengan nada mewanti-wanti. 

Pundakku bergerak tak nyaman dan melepaskan diri dari rangkulan Cardif yang langsung menatapku protes. Menggeser tubuhku selangkah menjauh dari Cardif dan mengangkat telunjukku di depan wajahnya. "You too, Cardif."

Mataku memencar mengamati suasana bandara pagi ini dan menemukan Kenneth sedang cengengesan di pojok dekat pintu masuk check-in. Tangannya sudah membawa dua cup kopi panas yang aku pesan tadi setelah kami berdua turun dari taxi. Dirinya justru membuat gesture bersulang dan manggut-manggut seolah sedang asyik menonton tontonan yang seru.

Aku berdecis mendapati pemandangan itu, sampai Rowland menggeser tubuhnya tepat di hadapanku. Menghalangi arah pandangku.

"You never talk about leaving The Perky Wear," cetus Rowland dengan desisan yang tertahan dan lamat-lamat itu keluar dari mulutnya. "And .. what the hell, a sudden quitting mail, Zenaida?"

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang