8

225 38 1
                                    


"Brie!" jeritku dengan sebal setelah berhasil tersambung sambungan telepon dengannya.

"Ya, Tuhan, Zen. Kenapa pagi-pagi teriak-teriak, sih?" Balasan lelaki itu semakin membuatku naik darah.

Pasalnya—seperti yang semua sudah ketahui perihal perjanjian kerjasama antara aku dan Brie yang tidak berjalan mulus sesuai dengan pasal-pasal yang aku ajukan—perihal tempat tinggal, pekerjaan dan juga kendaraan. Kali ini, di pagi hari yang sungguh seharusnya baik ini, aku harus dikejutkan dengan apa yang aku dapati darinya.

"Ini mobil aku?" tanyaku dengan perlahan setelah menghirup udara sepanjang tarikan napas sebelum berbicara tadi.

Mataku menatap skeptis sebuah sedan putih yang terparkir di halaman rumah dekat dengan air mancur utama. Tanganku secara refleks terangkat untuk membuat gerakan mengurut di keningku ketika Brie hanya berceloteh mengenai aku yang sudah melihat hadiahnya.

Hadiah apanya?! Aku kan minta dibelikan mobilku sendiri! Pakai uang dari rekeningku.

"Persis punyaku. Aku beli hitam, kamu aku kasih warna putihnya."

"Harusnya dari awal aku nggak usah minta tolong kamu," cetusku dengan gigi yang rapat masih sembari mengurut keningku dengan tekanan yang lebih terasa.

"Terus mau minta tolong siapa lagi? Papi? Mami?"

Siapapun, asal bukan Abrian! Jeritku dalam hati saking sebalnya.

"Hadiah dari aku, Zen. Ulang tahun kamu yang terakhir kan aku janji kasih hadiahku di Jakarta, and ... that's my belated gift."

Hadiah ulang tahun sebesar 2 milyar yang mungkin banyak diminati manusia-manusia lainnya di luar sana. Namun aku tidak. Sedan opulence milik Bi Em Vi seri 7 dengan warna alpine white ini terlalu mewah untuk aku gunakan sehari-hari.

"Tahu gini aku pakai mobil Civic punya Mami aja di garasi!" keluhku yang menimbulkan tawa geli dari Brie.

Jejeran mobil Papi di garasi besar terbuka yang ada di belakang bangunan keempat di rumah ini, sesungguhnya sangat bisa aku gunakan untuk kegiatanku selama di Jakarta. Seingatku, aku punya satu mobil Jeep Wagoneer lama cokelat tua atas namaku yang terparkir di garasi sana, seharusnya. Nampaknya mungkin opsi itu lebih baik dari pada aku menggunakan mobil putih di depanku ini.

"Civic Mami juga udah ganti, Zen."

"Padahal aku cuma minta beliin mobil yang biasa aja, yang kalau jalan di tengah Jakarta nggak jadi pusat perhatian orang."

"Of course not. Emang mobil kayak gitu cuma kamu doang yang punya? Aku juga punya. Orang-orang lain juga ada yang punya."

Dengan gemas aku harus mengakhiri percakapan ini. "Kayaknya aku pakai mobil cokelatku aja, deh."

"Mobil kamu itu ada di rumahku, udah lama aku pindahin buat jadi property tambahan di garasi," balas Brie.

Embusan napas penuh kesabaran milikku keluar. "Brie, kamu tuh dari kemarin nyebelin banget. You are well aware of that, aren't you?"

Brie berdeham panjang. "Kamu tahu nggak kalau aku lagi jalanin proyek besar punya ARG?" Bukannya menyahuti ucapanku soal bagaimana menyebalkannya dia selama aku kembali ke Jakarta, dia justru memulai topik baru.

Aku sangat tahu. Brie yang tengah menduduki kursi jabatan Executive Director & Chief Financial Officer untuk Adiwangsa Raya Group yang ada di bawah Papi langsung, tidak hanya bekerja asal-asal seenaknya. Papi bisa memenggal kepala Brie jika lelaki itu melakukan hal yang seenaknya di luar dari track yang sudah Papi kerjakan. Untungnya, Brie anak yang penurut. Lelaki itu sangat menyayangi keluarganya. Dia punya kesenangan dan ambisi kuat soal pekerjaan yang dia lakoni itu.

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang