13

166 23 1
                                    

"Harusnya kamu kasih tahu aku, Iman Albirru!" tegurku dengan suara melengking.

Iman sedang mondar-mandir menata meja makan dengan pakaian kerja masih menempel sempurna pada tubuh jangkungnya. Lelaki itu nampak sibuk dengan makanan yang aku bawa tadi sebelum datang ke rumahnya ini. Gerakannya terlihat santai dan luwes seolah pekerjaan itu tak asing dilakoninya. 

Berhubung tadi pagi kami sudah saling setuju untuk bisa menghabiskan waktu makan malam bersama dan lelaki itu sudah mengorbankan rumah sederhananya ini untuk bisa aku kunjungi, maka aku dengan senang hati membawakan banyak sekali makanan. Ini bahkan bisa kami bagi ke tetangga kanan dan kiri rumah Iman.

"Kalau makanannya dari hotel, ngapain kamu pesan bawa pulang? Mending makan di sana, lebih nyaman dari pada meja makanku." Iman berkata dengan nada datar. Dirinya masih menuangkan air putih pada dua gelas yang tersedia di atas meja.

Sejak tadi aku hanya mengamatinya yang tak membuang sedikitpun waktu untuk bergegas merapikan meja makan. Bahkan dia baru saja masuk rumah tadi setelah hampir satu jam aku menunggu di dalam rumah ini sembari berkeliling dan menonton televisi.

Rumah Iman tampak bersih dan rapi. Meskipun terlihat kosong di beberapa sisi, namun aku bisa merasakan kenyamanan yang Iman rasakan saat tinggal di dalam rumah ini. Dia tinggal seorang diri, aku belum tahu apa dia mempekerjakan asisten rumah tangga atau semua dia lakukan sendiri, such as washing dishes or clothes, cleaning every corner of the house and others that may need to be done when you have a house.

Komplek perumahan ini memiliki tipe bentuk rumah yang sama, rumah Iman diapit dua rumah di kanan dan kiri. Sepengelihatanku tadi semua rumah yang ada di barisan rumah Iman ini ataupun di seberangnya semua telah terisi karena semua carport-nya terparkir sebuah mobil yang artinya ada orang yang menempati rumah-rumah tersebut.

"Kalau makan di hotel, kamunya nggak mau, Beb," sindirku.

Opsi terbaik tanpa penolakkan dari seorang Iman adalah datangi tempatnya bernaung a.k.a di mana sudah pasti akan ada Iman di dalamnya—dengan catatan, di waktu-waktu dia seharusnya berada di rumah. Seperti sekarang, pukul 9 lewat 15 kami baru akan makan malam karena lelaki itu baru saja tiba sekitar 10 menit lalu.

"Harus banget makan sama aku emang? Brie kemana?"

Aku memutar kedua bola mataku jengah mendapati pertanyaan tanpa nadanya itu. Seperti tak tahu saja dia kalau Brie itu orang tersibuk di dalam rumah Adiwangsa. Papi saja kalah sibuk dari Brie. Dan lagi, aku memang ingin menghabiskan waktuku bersama dengannya. Memang ada yang salah?

"Nggak usah ngomongin dia, deh. Bosan." Aku menukas dengan enggan. "Jadi kenapa kamu nggak kasih tahu aku kalau ada Malka di Wangsacom?" cercaku kembali ke pertanyaan awal yang belum terjawab sama sekali.

Sejak lelaki ini tiba dan sibuk mondar-mandir di dapur dan meja makan, aku sudah menanyakan hal ini empat kali. Iman pasti tahu ada Malkara di Wangsacom, dia pasti tahu karena titahnya pagi tadi yang mendorongku untuk memiliki praduga tersebut. Dia memintaku untuk mencari tahu seluk beluk perusahaan. Apa lagi kalau bukan menjurus ke kalimat 'ada seseorang yang kamu kenali di sana'.

"Kamu sendiri yang bilang tadi pagi kalau kamu udah cari tahu. How do I know if you can get past that thing?" Iman menatapku sembari menarik kursi di seberangku.

Mengingat-ingat aku sempat membuka website profil perusahaan, rasanya aku tak menemukan nama Malkara di sana. Masa iya, sih, aku melewati itu? Jadi, ini kesalahanku yang tak teliti?

"Or indeed slowly but surely ... you have forgotten him."

Suara Iman menyadarkanku dari keterdiamanku sebentar tadi untuk berpikir perihal kesalahanku.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 26 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang