3

283 50 1
                                    

Jakarta, 2019

Aku memasang kacamata hitam saat berjalan keluar gate terminal bandara setelah selesai dengan kopi yang aku teguk sejak menunggu jemputanku dan berjalan cukup jauh untuk bisa mencapai bagian luar gate. Mengotak-atik ponsel yang kedapatan signal wifi tak stabil ini, aku beberapa kali mengoceh sebal.

Sudah aku mulai merasa lapar karena menyesal tidak mengiyakan tawaran barista di kedai kopi untuk sepotong roti yang harusnya bisa menyumpal lambungku, aku hanya kekeuh dengan satu cangkir Flat White panas. Ditambah cuaca panas sekali hari ini, rasanya terik matahari bisa menembus atap bandara. Tak salah aku memilih A-line mini dress abu-abu yang tingginya setengah paha untuk aku kenakan di kepulanganku ke tanah air ini. Tebakanku sangat benar kalau di sini masih kedapatan terik matahari yang ekstra sampai-sampai hawa angin pun rasanya panas.

Mendorong troli berisi 3 buah koper besar milikku, aku berjalan semakin menjauhi pintu gate terminal. Masih menggerutu karena signal wifi yang menyulitkan aku untuk menghubungi seseorang yang menjanjikan aku sebuah jemputan VIP di bandara siang hari ini.

Mendapati di satu posisi signal wifi-ku menjadi stabil, aku dengan gerakan jari super cepat segera menghubungi orang tersebut yang seharusnya sudah menjemputku di bandara sejak tadi.

"Oh, come on, Brie, don't make me wait any longer!" keluhku setelah panggilan itu terjawab. Tanpa basa-basi, aku langsung melempar keluhan kepadanya.

"Oh, sorry, sister. Aku baru aja masuk gedung kantor. Di basement signalnya nggak stabil tadi," jawabnya dengan santai.

Berbeda dengan jawaban santainya itu, mataku justru membelalak terbuka lebar mendengarnya. "Di kantor?" pekikku tak terkontrol.

Tunggu, kalau sekarang Brie di kantor yang letaknya ada di pusat kota Jakarta, berapa lama dia bisa ada di sini—di Cengkareng?

"Yes." Dia masih menyahuti dengan lebih santai.

"Brie, didn't you offer me a fetch?" cecarku yang membuat kalimat itu seperti batu yang memukul kepalanya.

Apa dia lupa ingatan? Kalau aku menyebut kata 'bodoh' tentu saja itu adalah sebuah kata yang salah untuk bisa dilempar kepada seorang Abrian Miliario Adiwangsa yang lulus dengan mudah dari Queensland untuk gelar MBA miliknya, ditambah Master of Finance untuk gelar finance specific dan sertifikat dari program Chartered Financial Analyst level 3 miliknya setelah terjun langsung menjalankan perusahaan. Jadi nampaknya dia sedang lupa ingatan saja, bukan mendadak bodoh.

"And, hello, brother? I'm here, in Jakarta, loh, remember?"

Brie tertawa lucu. "Welcome back, little sister! Jakarta hari ini panas banget."

Kedua bola mataku memutar jengah dengan basa-basi kalimat sambutannya tadi. Aku tahu sekarang panas sekali, bahkan aku sudah hampir banjir keringat sekarang! Tapi sekarang justru dia menambah rasa panas itu di kepalaku.

"Serius, Brie. Aku udah nunggu satu jam, kupikir kamu masih di jalan."

"And what if I can't fetch you up now, Zen?" Pertanyaan yang terlontar itu seperti sebuah jebakan. Ada nada menantang di sana. Jadi dia mengerjaiku soal jemputan? Benar-benar Brie ini!

"I've asked you to help me find a place to sleep, a vehicle, and a job." Dari semua itu, aku sudah seperti menyerahkan seluruh hidupku di Jakarta kepada Brie saat aku mengatakan bahwa aku akan pulang.

Aku percayakan apa-apa yang aku butuhkan untuk menyambung kehidupan di sini kepadanya. Bahkan soal jemputan sekarang ini, bukankah ini hanya bagian terkecilnya?

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang