2

446 62 5
                                    


PerthA week before

Tanganku sedang meletakkan kardus terakhir di atas rak gudang ketika bunyi ponselku terdengar. Sembilan puluh persen aku yakin itu adalah bosku yang super cerewet. Napasku menghela sebal tatkala mengingat ocehan Rowland yang tiada henti sejak kemarin sampai kami semua harus bertahan di kantor cukup lama dari jam pulang.

Tidak bisakah dia tak menyebalkan untuk masalah pekerjaan? Itu bahkan bukan hanya kepadaku, tapi semua karyawannya. Semua yang bertahan di sini mayoritas wanita yang mengagumi wajah tampan Rowland, lainnya laki-laki yang memang memiliki pendapatan yang sangat baik karena bosku itu tidak pelit soal uang.

Meskipun aku sudah pernah diajak lelaki itu berkencan bahkan bosku itu sudah mengungkapkan perasaannya kepadaku dan melamarku, tapi profesionalitas Rowland di kantor cukup mengerikan. Dia tak akan segan memandangku dengan berbeda sebagai bawahan dan wanita yang disenanginya.

Itu pasti Rowland lagi! Keluhku sembari mencoba meraih ponsel yang aku letakkan di atas meja dengan gemas. Namun, alih-alih mendapati nama bosku yang tampan itu, aku justru mendapati nama lainnya yang membuatku diam dan terbersit rasa enggan benar-benar untuk meraih ponsel itu.

Brie is calling ...

Kalau lelaki itu yang menghubungi malam-malam begini, biasanya hanya akan berakhir dengan permohonan yang sekarang sedang malas untuk aku dengarkan.

Deringan pertama sudah berhenti saat aku hanya menatap dengan malas layar ponselku. Tapi, baru saja aku mengembuskan napas karena merasa lega tak harus menjawab panggilan itu, panggilan keduanya datang. Seolah merasa iba karena membayangkan tatapan mata memohon si penelpon, mau tak mau aku harus menerima panggilan itu.

"Zenaida speaking!" jawabku dengan nada malas-malasan. "Ada yang bisa saya banting, Tuan?" Aku membuat nada candaan agar si penelpon tak merasa kesal karena aku lamban menjawab panggilannya—meski itu dengan sangat disengaja.

Aku tak menerima jawaban signifikan berupa helaan napas penuh kesabaran atau ocehannya yang mengomel karena aku lamban menjawab panggilan seperti biasanya. Hanya ruang kosong tanpa suara yang bisa telingaku tangkap, seolah tak ada pergerakan apapun di sana, bahkan helaan napas pun.

"Brie?" panggilku was-was. Khawatir dia hanya salah tekan dengan panggilan darurat dan dirinya sedang dalam keadaan tak baik-baik saja.

"Zen." Suara itu akhirnya terdengar di telingaku setelah hampir lima detik aku menghitung dalam hati, yang langsung membuatku lega. "You have to go home." Lanjutan kalimatnya itu membuat rasa lega yang tadi datang justru langsung lenyap tak bersisa.

Apa aku bilang. Masih sama ternyata, hanya saja dia langsung menembakku tanpa basa-basi. Biasanya kami akan berbincang ngalor ngidul terlebih dahulu sebelum akhirnya lelaki itu menyebut kalimat dengan sebuah kata kerja 'pulang' di dalamnya.

Aku berdecak. "Brie, kamu pikir aku nganggur banget, ya, di sini?"

Sudah berkali-kali aku bilang kalau aku bekerja dengan sangat baik di sini dan dirinya tak perlu memberondongku untuk terus-terus pulang. Bosku sangat loyal untuk memberikan gaji yang bagus, uang bonus bahkan lemburku bisa dibayarkan dengan baik. Aku membawa gelar dari NUS Business School ditambah Curtin memberikanku gelar MIB, mencari pekerjaan bagus di Singapur atau Australia bukan hal yang perlu aku khawatirkan. Relasiku cukup, teman-temanku ada. Isi rekeningku? Oh, aku seperti memiliki seorang sugar daddy karena angka di sana akan terus bertambah secara signifikan, bahkan itu datangnya tak hanya dari keringat hasil kerja kerasku. Ibarat itu sebuah kurva, garisnya belum ada keinginan untuk meluncur terjun ke arah bawah a.k.a aku tak akan mudah untuk pailit. Yang artinya ... aku masih sangat bisa untuk hidup di sini dengan baik-baik saja.

FairwayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang