Sejak ia masih bocah, menonton film aksi selalu menjadi ritual yang lebih dari sekadar hiburan bagi Bravo.
Dalam kegelapan ruang keluarga, mata kecilnya terpaku pada layar televisi, menangkap setiap detil dari heroik sang pahlawan. Tetapi lebih dari itu, ada adegan tertentu yang selalu membuat jantungnya berdetak lebih kencang, saat sang pahlawan macho tiba-tiba rentan-terikat, terjebak, atau disiksa oleh penjahat.
Itu adalah momen saat ia merasakan getaran aneh yang memenuhi seluruh tubuhnya, getaran yang seakan membisikkan kata-kata yang ia tidak mengerti tetapi juga tidak bisa lupakan.
Getaran ini, hasrat terpendam yang mengelilingi jiwa muda Bravo, adalah seperti petualangan melintasi hutan belantara penuh stigma dan malu. Menjadi anak dari keluarga yang konservatif, ia dibesarkan dengan ide-ide tentang kejantanan yang sempit, di mana ada dosa dan kejanggalan pada hasrat-hasrat yang ia rasakan. Merasa terjebak dalam perangkap norma-norma sosial, Bravo membawa beban malu dan benci diri sepanjang masa mudanya, sebuah beban yang menjadi teman setianya dalam setiap langkah kehidupan. Seperti berjalan dalam labirin gelap, ia menemukan dirinya tersesat dalam pikiran dan emosi yang kompleks.
Namun, waktu berjalan, dan dengan setiap tahun yang berlalu, ia bertemu dengan orang-orang dan literatur yang memandu jiwanya melalui perjalanan emosionalnya. Setiap pertemuan dan wawasan baru adalah seperti matahari yang menerobos celah-celah hutan belantara pikirannya, memberikan sedikit cahaya pada jalan yang selalu tampak gelap. Dan pada akhirnya, Bravo menemukan apa yang selalu ia cari tetapi tak pernah ia mengerti: penerimaan diri. Menghadapi kebenaran tentang dirinya, ia merasa seolah-olah rantai yang selama ini membelenggu hatinya akhirnya terlepas.
"Ambil Riding Crop!" perintah Sakti, suaranya tegas dan berwibawa.
Refleks, Bravo bergerak. Ada keterbatasan dalam posisinya-berlutut dengan kaki yang berangkang-namun ia bergerak secepat yang diizinkan oleh situasinya. Detak jantungnya meningkat, memompa adrenalin melalui setiap uratnya, setiap sel sarafnya menangkap perintah dari Sakti seperti petunjuk suci. Ini adalah momen yang selalu ia tunggu, saat ia bisa melepaskan diri dari semua belenggu-fisik, emosional, sosial-dan hanya ada di sini, di ruang ini, dengan Sakti.
Sebagai jejak, tetesan precum jatuh di lantai; ia tahu nanti Sakti akan memintanya menjilati setiap tetesan sampai lantai kembali bersih. Tapi itu urusan nanti. Sekarang, dia merangkak dengan kecepatan dan efisiensi, seakan dia adalah hewan peliharaan yang paling setia pada Tuanannya.
Merasa adrenalin mengalir deras melalui pembuluh darahnya, Bravo menemukan kepuasan dalam penyerahan diri ini. Di mata orang lain, aksi-aksinya mungkin tampak merendahkan, tetapi bagi Bravo, ada sesuatu yang tak tergantikan tentang menyerahkan kontrol diri sepenuhnya kepada Sakti. Ada kebebasan dalam penyerahan, dan dalam kebebasan itu, ia menemukan kedamaian dengan diri sendiri.
Ketika Bravo muncul dari kamar, menenteng Riding Crop di mulutnya, ia disambut oleh udara dingin yang menyejukkan ruangan, berkat AC yang telah dinyalakan oleh Sakti. Matanya segera tertuju pada sosok Sakti yang duduk di sofa berlapis kulit hitam, kontras dengan kulit pucatnya-kesan mewah dan keanggunan tampak dalam setiap jahitan dan lipatan bantalan.
Tapi yang benar-benar merengkuh pandangannya adalah kontol Sakti yang sudah tidak lagi tersembunyi-tegas, perkasa, mengundang. Itu seperti sebuah monumen kejantanan yang meminta untuk diakui. Mulutnya terasa penuh dengan liur yang tak terbendung, jantungnya berdebar dalam tempo yang semakin mempercepat, dan seluruh dirinya merasa seperti dikuasai oleh suatu energi yang menggugah. Ia merasa seolah-olah di ambang sebuah kepuasan spiritual, sebuah kepuasan yang hanya bisa diwujudkan dalam kehadiran Sakti.
Dalam pandangan Bravo, kontol Sakti adalah sebuah mahakarya-seperti lukisan atau patung yang menghadirkan begitu banyak emosi dan sensasi. Kontol yang tegak, yang penuh dengan kehidupan dan nafsu. Bravo merasa suasana hatinya berubah-menjadi campuran antara kegugupan, antisipasi, dan hasrat murni. Setiap detail tampak begitu intens, mulai dari pembuluh darah yang membulat hingga tekstur yang tampak seperti telah diukir oleh tangan seorang seniman.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD BOY
RomanceHomophobic dilarang baca. Warning: BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya. Dalam spin-off yang membara...