Bravo tak mampu lagi menahan rintihannya, suaranya berubah menjadi jeritan yang melengking, "Kaing! Kaing! Kaing!" Tangannya yang berotot mencengkeram sisi tempat tidur, kukunya nyaris menusuk kulitnya sendiri, berusaha mencari pegangan dalam gelombang yang kian menelan dirinya.
Dalam benaknya, wajah ayahnya melintas; ia teringat bagaimana ayahnya selalu menanamkan keyakinan bahwa pria sejati tak pernah menyerah pada rasa sakit, bahwa menjadi kuat adalah satu-satunya pilihan. Tapi di sini, di hadapan Sakti yang mengendalikan sepenuhnya, prinsip-prinsip itu terasa samar, bergeser menjadi sesuatu yang ia sendiri tak sepenuhnya mengerti.
Sakti merasakan setiap otot di bawahnya mengeras dan menggeliat saat tubuh besar Bravo berjuang menahan sensasi yang tak pernah ia duga sebelumnya. Dada Bravo yang lebar dan penuh, setiap lekuk ototnya membentuk kontur maskulin sempurna, menjadi alas bagi kelamin Sakti yang telah mencapai puncak gairahnya.
Dalam setiap gerakan maju-mundur, Sakti menggosokkan kontolnya lebih bernafsu di atas permukaan dada montok Bravo, seolah menggunakan tubuh besar yang menggeliat kesakitan itu sebagai perpanjangan dari keinginannya yang penuh kendali.
Setiap jengkal otot Bravo yang bersentuhan dengan kulitnya, tiap detak denyut yang terasa di bawahnya, membawa Sakti lebih dalam ke dalam kenikmatan yang murni dan mentah, membuatnya serasa berada di puncak dunia yang ia ciptakan.
Di bawah kendali penuh itu, Bravo, dengan topeng anjing yang membatasi setiap ekspresinya, mulai kehilangan kontrol. "Kaing... kaing..." gumamannya berubah menjadi suara yang menggemakan ketundukan sepenuhnya, jeritan yang memohon sesuatu yang bahkan ia sendiri mungkin tak mampu ucapkan.
Napasnya memburu di balik topeng itu, dengan setiap tarikan napas yang terasa lebih berat dan lebih dalam, seakan ia hanyalah boneka bagi Sakti untuk menguji batas ketahanannya. Namun, di tengah rasa sakit dan tunduk yang dalam, ada sesuatu yang lain—sebuah hasrat yang tak tertahankan untuk lebih, sesuatu yang bahkan rasa nyeri belum mampu memuaskannya.
Sakti menyeringai, mendengarkan setiap jerit tertahan dari pria yang berada di bawah kendalinya. Dia merasakan tangan besarnya mencengkeram rantai kecil yang menghubungkan kedua nipple clamp pada dada Bravo, menariknya sedikit lebih kuat kali ini, menciptakan rasa nyeri yang menyusup jauh ke dalam jaringan saraf Bravo. "Sakit, ya?" tanya Sakti dengan nada rendah yang nyaris berbisik, namun penuh kekuasaan. "Tapi kamu suka ini, kan ?"
Bravo hanya bisa menjawab dengan suara teredam, tak mampu merespons dengan kata-kata karena setiap tarikan napasnya sudah diambil alih oleh intensitas yang mendesak keluar. Setiap tarikan pada rantai itu, setiap tekanan yang ia rasakan di sekujur tubuhnya, seakan menggerus lapisan-lapisan pertahanan yang selama ini ia banggakan. Otot-otot dada yang kokoh itu, yang selama ini ia jaga sebagai simbol dari kekuatan dan kejantanan, kini menjadi alat bagi kepuasan seseorang yang menguasainya. Sambil menahan napas, Bravo mencoba mengangkat wajahnya, menatap Sakti dengan tatapan memohon yang lebih dalam dari sekadar ketundukan.
Di atasnya, Sakti kini berdiri, mengamati tubuh Bravo yang tergolek di bawahnya, seperti singa yang mengintai mangsanya. Setiap bagian tubuh Bravo—dada yang bidang, perut yang keras, dan lengan yang berotot—terlihat berkilauan dalam cahaya redup, berkeringat dan berkilauan, memancarkan kombinasi antara ketegangan dan kerentanan yang membuat Sakti semakin terbuai dalam kuasa yang dimilikinya.
Dengan gerakan lambat dan penuh perhitungan, Sakti mengangkat kakinya tinggi, lalu menendang perut Bravo yang berotot dengan kekuatan penuh. "Thud!" terdengar suara mendalam saat kaki Sakti menghantam otot yang padat itu, membuat tubuh Bravo terhentak, seolah terseret ke dalam lautan rasa sakit yang tak terbayangkan. Bravo meringis, napasnya tertahan, sementara sensasi nyeri menjalar dari perutnya ke seluruh tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD BOY
RomanceHomophobic dilarang baca. Warning: BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya. Dalam spin-off yang membara...