Setahun sudah berlalu sejak pertemuan pertama mereka, dan ruang tamu Bravo kini menghadirkan suasana yang jauh lebih hangat daripada sebelumnya. Sofa kulit berwarna coklat tua yang pernah menjadi saksi bisu pertemuan pertama mereka, kini menjadi tempat di mana dua pria ini saling mencari kedamaian.
Namun, meski Sakti tampak lebih tangguh di permukaan, Bravo tahu betul bahwa di bawahnya masih ada lapisan trauma yang belum sembuh. Jantungnya berdegup kencang, tetapi ia memeluk Sakti lebih erat. Bahu berotot Bravo yang biasanya kuat dan tegap seolah mencair, menjadi semacam pelindung, sebuah benteng yang mengepung Sakti. Ia berharap, dengan kekuatan pelukannya, ia bisa menyedot keluar setiap partikel kenangan pahit, setiap luka yang masih membekas di hati Sakti.
"Om, sesek nih," sahut Sakti, suaranya menembus eratnya pelukan Bravo. Ada getaran ringan dalam kata-katanya, mengekspos secercah kerentanan yang jarang terlihat.
"Maaf, Sayang," Bravo berkata, suaranya penuh dengan nada permohonan maaf. Pelukannya melonggar sedikit, tetapi mata mereka bertemu, dan dalam tatapan itu ada sebuah janji yang tak perlu diucapkan. Bravo tak pernah ingin menyakiti Sakti, bahkan dalam hal sekecil ini.
"Enak aja, maaf-maaf doang, harus dibales!" Sakti menanggapi sambil tersenyum. Senyumannya adalah ekspresi yang lebih jujur daripada kata-kata, sebuah peta emosi yang menunjukkan ke mana hubungan mereka berlayar.
Bibir Sakti bergerak mendekati Bravo dengan suatu kepastian yang mendebarkan-tidak terlalu cepat, namun juga tidak lambat-seolah setiap inci mendekatnya adalah sebuah pernyataan. Begitu bibir mereka bersentuhan, Bravo merasa sebuah gelombang panas melewati setiap serabut saraf di tubuhnya, membakar jalan melalui urat-uratnya, dan menyulut nyala dalam ruang-ruang gelap hatinya. Seolah masing-masing atom di tubuhnya meresonansi dengan energi yang murni dan belum teridentifikasi, sebuah kekuatan yang mampu mencairkan perisai emosional paling kokoh sekalipun.
Tangan Sakti mulai bergerak, hati-hati namun penuh keyakinan, seolah dia sedang merasakan nada-nada dari sebuah simfoni yang belum selesai. Meski punggung Bravo telah menjadi kanvas dari petualangan-petualangan romantis mereka-jejak-jejak kasar yang penuh gairah dan tanpa penyesalan-bagian depan tubuhnya seolah masih merupakan lembaran polos yang belum digoreskan. Saat tangan Sakti menyentuh kulit Bravo, sentuhannya begitu lembut, begitu penuh kekaguman, seolah-olah dia berbicara dengan sebuah karya seni yang belum sempurna. Setiap sentuhan adalah sebuah kata, sebuah kalimat, sebuah bab dalam cerita yang terus berkembang antara mereka.
Namun, seiring waktu berlalu, ada perubahan dalam dinamika sentuhan Sakti. Kelembutan awalnya mulai digantikan oleh sesuatu yang lebih kasar, lebih mentah. Jemari Sakti mulai menekan kulit Bravo dengan kekuatan yang lebih tegas, meremas otot-ototnya, seolah-olah dia ingin meresapi setiap inci dari keberadaan pria itu. Ini adalah suatu tindakan pemberontakan sekaligus penerimaan; Sakti tidak lagi hanya puas dengan memuja, ia juga ingin memiliki, ingin mengeklaim Bravo sebagai bagian dari dirinya, dan dirinya sebagai bagian dari Bravo.
Dan Bravo merasakannya semua-dalam setiap tekanan jari, dalam setiap genggaman tangan, dan paling jelas, dalam ciuman yang mereka bagi. Ciuman itu, yang awalnya begitu lembut dan penuh pertanyaan, berubah menjadi lebih tegas, lebih yakin. Sakti memperdalam ciumannya, menunjukkan dominasinya, seolah sedang menegaskan tempatnya dalam hubungan ini. Bibirnya bergerak dengan kepastian baru, menggigit ringan bibir bawah Bravo, seolah dia sedang menandai teritori barunya.
Sebuah isyarat tenaga mendadak meledak dari ujung jari Sakti, meresap dalam ke otot-otot dada Bravo. Seolah mendengar panggilan alamiah, jemari Sakti meluncur ke puting Bravo-menggenggam, memilin, dan akhirnya memelintir dengan suatu kegigihan yang hampir bisa disebut gemas.
"MMhhhhhhh..." Bravo hanya bisa menggumam, kepalanya menengadah, mata terpejam. Setiap sentuhan dari Sakti seolah meresap ke dalam jaringan otot dan tulangnya, menelusuri jalan-jalan saraf yang selama ini tidak diketahui.
KAMU SEDANG MEMBACA
GOOD BOY
RomanceHomophobic dilarang baca. Warning: BDSM: Hargai dan hormati batasan serta keinginanmu sendiri. Jika ada elemen dalam BDSM yang terasa tidak nyaman atau tidak sesuai dengan nilai-nilaimu, jangan ragu untuk menghindarinya. Dalam spin-off yang membara...