05. Liam's Next Love

219 21 1
                                    

05. Liam's Next Love

.

Pada akhirnya mereka sampai di sebuah rumah tingkat dua yang dikelilingi oleh tanaman hijau serta bunga-bunga. Rumah itu bergaya modern dan tampak begitu nyaman, sangat berbeda dengan rumah kedua orang tua Liam. Ukurannya memang sedikit lebih kecil, namun, tetap saja untuk membersihkan rumah ini memerlukan lebih dari satu orang pembantu.

Leon yang berada di dalam gendongan Liam, kini telah tertidur pulas sejak dari pesawat. Anak itu bahkan tidak terganggu sama sekali meski Liam membawanya kesana kemari ketika mereka tiba di bandara.

"Rumah ini sudah dibersihkan oleh tukang bersih-bersih. Kamar kamu nanti berada di lantai satu, bersebelahan dengan kamar milik Leon. Saya gak bisa menempatkan kamar Leon di atas karena dia masih kecil. Ibu saya sudah menyampaikan apa-apa saja yang akan kamu kerjakan nanti kan?" Liam berbicara kala mereka memasuki area ruang tamu. Yara yang tadinya sempat melihat-melihat isi rumah langsung memfokuskan pandangan pada Liam.

"Sudah Pak," ungkapnya. 

"Bagus. Kalau begitu kamu boleh beristirahat. Kalau sudah merasa lebih baik, kamu bisa menyusun barang-barang milik Leon."

"Baik Pak."

"Ayo ikuti saya!"

Yara melangkahkan kakinya mengikuti Liam dari belakang. Pria itu memasuki sebuah kamar, disusul oleh Yara.

"Ini kamar Leon. Sebelah kiri punyamu."

Yara hanya mengangguk kecil. Dia berjalan ke sudut kamar yang terdapat lemari cukup besar, diletakannya barang-barang milik Leon di lantai. Selanjutnya, Yara memandangi Liam yang kini tengah mengambil salah satu bantal yang tersusun rapi, lalu menaruh tubuh mungil anaknya di atas kasur. Pria itu berbalik, lalu berjalan ke arahnya.

"Satu orang pembantu akan mulai bekerja hari senin nanti. Jadi, untuk dua hari kedepan, kamu bekerja sendirian," jelas Liam kemudian. 

"Baik Pak. Kalau boleh tau kapan bapak mulai bekerja dan biasanya bangun jam berapa?"

"Senin saya sudah mulai bekerja. Jam delapan pagi saya berangkat. Ada lagi yang mau kamu tanyakan Yara?"

"Apa bapak punya alergi atau apa? Saya takut nanti malah salah memilih bahan makanan."

"Saya gak punya pantangan apapun soal makanan. Asal jangan membuat sarapan pedas di pagi hari, bisa bikin sakit perut."

"Siap Pak. Kalau begitu apa saya boleh ke kamar saya Pak? Jujur kepala saya agak pusing habis naik pesawat." Yara menyengir diakhir kalimat. 

"Silakan. Pasti gak nyaman karena ini pertama kali kamu naik pesawat kan?" 

Yara senang mendengar respon Liam. Pria itu tidak merendahkannya sama sekali, bahkan tampak sangat memaklumi. Ternyata sifat baik hati Narani turun pada pria dihapannya ini. Memikirkan tentang Liam, membuat Yara sedikit bersedih untuk pria itu. Narani kerap kali menceritakan betapa Liam mencintai mendiang istrinya, dan merasa amat terpukul. Tak jarang Liam menyalahkan dirinya sendiri atas kematian istrinya dulu. Hingga pada akhirnya, Liam memutuskan untuk pergi menjauh. Membiarkan anak satu-satunya tumbuh besar dengan kasih sayang sang nenek dan kakek.

"Iya Pak. Jantung saya mau copot pas masuk pesawat tadi."

Liam tersenyum kecil. Pengasuh anaknya ini sangat amat terbuka. 

"Lama-lama kamu juga akan terbiasa. Oh iya, saya sudah mendaftarkan Leon sekolah, hari minggu nanti kita pergi membeli barang-barang sekolah buat Leon."

Yara mengangguk. "Oke Pak."

"Satu lagi. Saya belum membeli bahan makanan apapun. Jadi, kamu gak usah masak. Pesan online saja. Kita langsung belanja minggu nanti," ucap Liam lagi.

"Baik Pak. Kira-kira ada lagi Pak?"

Liam tampak tersadar akan sesuatu. Dia melihat wajah pucat perempuan itu. Yara sempat akan berpamitan, tapi dia malah terus membuat obrolan lain.

"Gak ada. Kamu bisa istirahat sekarang."

"Makasih Pak."

Yara langsung melengos pergi. Disusul Liam yang melangkahkan kakinya menuju lantai dua. 

Membuka pintu kamar, Yara tersenyum senang. Ternyata kamar yang diberikan oleh Liam tak seperti dugaannya. Yara pikir dia akan mendapatkan kamar biasa, kasur kecil, satu lemari kecil seperti di rumah Narani. Tapi, ternyata dia salah. Kamar yang diberikan Liam terlalu bagus untuk ukuran seorang pengasuh sekaligus pembantu. Kasur queen size, lemari besar dengan pintu yang digeser, meja rias dengan kaca besar, yang terakhir sebuah televisi pintar berukuran sedang. 

Apa Liam tidak rugi memberikan fasilitas ini untuk seorang pesuruh seperti Yara? Atau jangan-jangan ini hanya kamar sementara. Mengingat rumah ini baru saja Liam beli, kemungkinan besar Liam belum menyiapkan kamar pembantu yang sebenarnya. Yara masa bodo dengan itu, penting sekarang dia dapat menikmati kasur mahal dan pasti sangat empuk walau hanya untuk sementara waktu.

Diletakkannya beberapa tas berisikan barang-barang miliknya di samping kasur. Yara yang merasa pusing, langsung memilih rebahan. Dia sudah mendapatkan izin dari Liam untuk beristirahat. Maka dari itu, Yara harus memanfaatkan kesempatan tersebut.

Yara tersadar perlahan dari tidurnya. Dia mengusap wajah, lalu menatap langit-langit dengan pandangan sayu. Matanya masih terasa berat, namun, perutnya sedikit bergejolak minta diisi. Yara pun duduk, dan dengan malas mengambil tas kecil yang berada di lantai. Yara mengambil ponsel, kemudian membuka kunci dengan sidik jari jempol. Matanya langsung terbelalak kala melihat waktu telah menunjukan hampir jam dua. 

"Astaga bodohnya!" Yara memukul kepalanya sendiri. Bisa-bisanya dia kebablasan tidur hampir tiga jam. Bagaimana dia harus menghadapi Liam. Sudah diberikan waktu istirahat, malah ngelunjak. 

Belum sempat Yara beranjak dari kasur. Sebuah ketukan pintu menghentikan rasa khawatirnya. Dia menatap pintu horor. Takut-takut Liam datang untuk memarahi. Meski selama bekerja dengan Narani, dia tak pernah dimarahi walau terkadang membuat kesalahan. Yara tetap saja ketakutan. Liam memang anak Narani, tapikan bisa saja sikap mereka sangat berbeda.

"Kak Yara, buka pintunya!" 

Suara cempreng milik Leon menggema. Yara yang sempat gugup, merasa sedikit lega. 

"Sebentar Leon." Yara beranjak, mendekati pintu dan menemukan Leon yang tersenyum lebar menyambutnya. 

"Tadi, Leon sama Ayah pergi beli makan sama pizza. Pizza-nya enak banget Kak. Kak Yara harus habisin!" Leon menarik-narik tangan Yara. Mau tak mau perempuan itu mengikuti. 

Di meja makan ternyata sudah ada Liam yang tengah bermain ponsel dengan segelas teh es yang tersisa setengah. Di atas meja terdapat dua piring yang isinya telah habis. Seperti sadar akan kehadiran mereka, Liam mendongak, lalu tersenyum.

"Maaf membangunkan kamu. Leon sedikit cerewet karena katanya kamu harus menghabiskam pizza sama dia."

Mendengar penuturan Liam, Yara malah tak enak hati. Seharusnya dia yang meminta maaf karena tidurnya kebablasan.

"Seharusnya saya yang meminta maaf Pak. Saya ketiduran sampai hampir sore," balas Yara.

"Gak masalah. Hari ini gak begitu banyak hal yang kamu kerjakan. Jadi, gak perlu khawatir. Kamu juga belum makan siang. Tadi, saya sempat membeli ayam bakar bersama Leon di luar. Makanannya ada di lemari kabinet." Liam menunjukan salah satu lemari berwarna putih. 

Yara yang merasa canggung, pada akhirnya menuruti perintah Liam. Jujur dia sangat amat tak enak hati. Pria itu terlalu baik untuk ukuran seorang majikan.

To Be Continued...

Liam's Next Love (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang