Chapter 3: Adalah Musuh

134 15 2
                                    

"Oh, jadi dia adikmu ya." Boruto berkata dengan nada arogan sambil melipat tangannya di dada.

Kawaki menatap Boruto dengan pandangan sinis, sambil mengelus kepala Himawari yang berada di pelukannya.

"Pantas saja. Ternyata, dia sama sepertimu, sama-sama orang miskin dari panti asuhan dengan asal usul tidak jelas. Ya, tidak heran, sih kenapa matanya jadi buta seperti itu."

Tidak terima adiknya dikatain, membuat Kawaki berang dan hendak beranjak untuk menghajarnya. Sebelum akhirnya, Himawari menahan dirinya agar tidak membuat keributan.

"Sudah, niichan! Biarkan saja! Bagaimana pun ini tempat umum, jangan buat keributan di sini! Kita pergi saja ya." Jika Himawari tidak menahannya, Kawaki yakin satu bogeman pasti sudah mendarat di pipi Boruto.

Kawaki menghela napas dan sebelum ia mengajak Himawari pergi, pemuda itu menatap Boruto dengan pandangan sinis. Seolah berkata, 'tunggu saja balasanku nanti.' Namun, tatapan Kawaki hanya dibalas dengan tawa meremehkan oleh pemuda berambut kuning itu.

...

Setelah masuk ke dalam kafe, Kawaki tampak telaten mengobati luka yang terdapat pada lutut Himawari. Himawari sesekali meringis menahan perih saat Kawaki meneteskan obat antiseptik ke atas lukanya.

"Kau itu berani sekali ya menantang Boruto."

Himawari menoleh dan ia mendapati ada seorang gadis berambut biru panjang yang tampak berdiri di samping seorang pemuda berambut merah dengan celemek barista menempel di tubuh mereka.

"Sangat sangat berani." Gadis berambut biru itu menimpali jawaban dari rekannya.

"Sudah selesai!" ujar Kawaki yang telah selesai membalut lutut Himawari dengan hansaplast.

Kawaki pun duduk di samping Himawari sambil mengelus rambut panjangnya. Himawari pun menghela napas lega usai menyadari rasa perih di kakinya yang perlahan mulai menghilang.

"Memangnya kenapa aku harus takut dengan pemuda banci tadi?"

Code dan Eida saling bertatapan dengan tawa usai mendengar Himawari menyebut Boruto dengan kata "banci".

Code pun duduk di samping Himawari sambil menepuk bahunya. "Bukan gimana-gimana, nih. Masalahnya, pemuda yang kau sebut banci itu sebenarnya satu universitas dengan aku dan kakakmu. Dia memang terkenal sombong dan arogan saat di universitas. Tanya saja kakakmu kalau tidak percaya."

Himawari pun menoleh ke arah Kawaki untuk bertanya. "Beneran, niichan kalau dia itu musuh kakak di kampus?"

Kawaki mengangguk.

"Iya, dia musuh niichan di kampus. Kau tidak perlu heran kenapa sifatnya seperti itu. Karena meskipun dia anak orang kaya, hidupnya terlalu dimanjakan makanya sifatnya jadi ngelunjak dan arogan. Ditambah lagi, dia dan ibunya sama-sama hidup dengan kekasih mereka tanpa ikatan pernikahan. Benar-benar manusia yang tidak patut dicontoh."

Himawari menutup mulutnya, terkejut mendengar penuturan Kawaki mengenai pemuda yang baru saja menabraknya tadi.

"Heh? Benarkah? Lalu, ayahnya ke mana? Kau bilang, ibunya punya kekasih. Apa jangan-jangan dia anak haram ya?"

Code dan Eida saling tertawa usai mendengar pertanyaan frontal yang keluar dari mulut Himawari.

"Ya, meskipun kelakuannya haram. Sebenarnya, dia bukan anak haram, sih. Ayahnya itu udah meninggal dunia pas dia umurnya masih kecil karena kecelakaan kapal. Dan setelah itu, ibunya punya kekasih lagi dan kebetulan kekasihnya adalah sosok dari klan bangsawan Otsutsuki yang terkenal di Jepang itu. Ya, mungkin itu kali yang bikin kenapa kelakuannya si Boruto jadi begitu. Entah karena trauma, atau mungkin karena terlalu dimanjain. Secara dia orang kaya," ujar Code memberikan jawaban kepada Himawari.

Kawaki mengerlingkan kedua bola matanya dengan malas, ia sudah di tahap muak membahas tentang pemuda yang merupakan musuh bebuyutannya di sekolah itu.

"Sudahlah, lebih baik kita hentikan saja pembahasan mengenai Boruto. Aku sudah muak membahas si kuning ngambang menyebalkan itu. Lebih baik, kita ke topik utama saja."

"Baiklah... baiklah," ujar Eida dan Code secara kompak.

Himawari menatap Kawaki dengan senyum tipis, sementara Kawaki tampak menghela napas sebelum berbicara.

"Jadi, tujuanku membawa Himawari ke sini adalah untuk membantunya melamar pekerjaan sebagai barista di sini. Karena Himawari sendiri ingin kuliah di jurusan desain. Tapi, ya... kalian tahu sendiri 'kan kalau jurusan itu sangat mahal dan kita tidak mungkin bisa membiayainya semudah itu meskipun dengan bantuan beasiswa sekalipun. Oleh karena itu, aku ingin Himawari bekerja sebagai barista di sini agar sekalian adikku bisa mengumpulkan uang untuk sekolah desain. Bagaimana?"

Kawaki kemudian berujar kembali. "Oh iya, dia sendiri sangat pandai menggambar dan aku rasa dia bisa diandalkan untuk membuat latte art. Sama satu lagi, kalau bisa aku ingin Hima berada di shift yang sama denganku agar aku bisa leluasa mengawasinya. Jadi bagaimana, Code? Kau 'kan pemiliknya."

Code dan Eida saling bertatapan kemudian pemuda itu tampak berpikir sejenak.

"Hmmm... bagaimana ya?" ujar Code sambil menyentuh dagunya guna berpikir.

Himawari pun melipat tangannya dan mulai mengeluarkan jurus puppy eyes agar Code dapat luluh kepadanya. "Boleh ya, boleh ya Hima bekerja di sini."

Melihat Himawari yang memohon dengan sangat imut, membuat Code pun menghela napas. Harus diakui, ia luluh melihat Himawari yang memohon seperti itu.

"Baiklah. Kau boleh bekerja di sini mulai besok bersama kakakmu."

Himawari pun berteriak dengan ceria sambil memeluk lengan Code dengan erat.

"ARIGATOU, CODE-NIICHAN!" teriak Himawari ceria yang sontak membuat Code sweatdrop seketika.

Eida tersenyum melihat interaksi itu sambil melirik Kawaki yang masih terdiam.

"Adikmu ceria sekali ya."

Kawaki tertawa kecil.

"Ya, dia memang moodbosterku."

...

Sesampainya di rumah, Boruto membanting tasnya di atas sofa dan kemudian merebahkan dirinya di atas sofa bed dengan raut wajah kesal. Sarada mengerlingkan kedua bola matanya sembari duduk di samping kekasihnya.

"Tidak seharusnya kau berbicara seperti itu pada orang lain. Kalau kau salah, ya minta maaf bukannya ngotot."

Boruto mendelik ke arah Sarada dan menatap kekasihnya itu dengan tatapan tajam.

"Kau itu apa-apaan, sih? Sudah tahu moodku lagi memburuk dan sekarang kau mau membuat moodku semakin memburuk lagi. Sebaiknya kau diam saja!"

Mendengar respon kekasihnya yang seperti itu, membuat Sarada gemas dan mencubit lengan kekasihnya.

"Awwww!" rintih Boruto kesakitan.

"Aku ini kekasihmu, bodoh! Dan sudah kewajibanku untuk menasehatimu kalau kau berbuat salah! Lihat saja, kalau Mommy Hinata tahu kelakuanmu seperti itu! Aku yakin fasilitasmu pasti dicabut."

Boruto pun tertawa meremehkan.

"Silahkan saja kau mengadu kepada Mommy. Aku yakin dia tidak akan merespon apapun, toh dia dari dulu selalu memanjakanku."

Sarada merespons perkataan Boruto dengan pandangan datar.

"Terserah kau saja lah. Aku capek menasehatimu, kau memang keras kepala!"

Boruto hanya tertawa kecil sambil mencubit pipi Sarada gemas.

"Tapi, kau jatuh cinta, kan kepada pemuda keras kepala ini."

Sarada diam dan tak menanggapi. Ia masih benar-benar kesal. Hal itu lantas membuat Boruto beranjak dari posisi lelapnya dan memeluk Sarada dari belakang.

"Baiklah. Baiklah. Kalau begitu, aku akan menuruti apapun yang kamu mau, sayangku. Apa yang kau mau? Biar aku kabulkan."

Sarada mengelus lengan Boruto dan mengecup pipi kekasihnya.

"Aku ingin kau datang kepada Kawaki dan minta maaf kepada adiknya, serta mengganti rugi perbuatanmu."

-TBC-

SEPARATEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang