e07 (awal pertengkaran)

168 98 50
                                    

Aku melihat wajah paniknya tidak reda, mengetahui tangannya baik-baik saja pasti membuatnya menjadi khawatir. Jika tangannya baik-baik saja, tapi kenapa tangannya terus gemetar? Mungkin itu yang ada di pikirannya.

Dia menarik tangannya setelah aku memeriksanya, kedua tangannya saling mengepal dan dia terus memperhatikan tangannya. Mungkin aku tau sebab kenapa tangannya begitu.

"Apa kau panik karena tidak bisa bermain piano? Kulihat tanganmu terus gemetar saat kau menyebutka pianis. Tenang saja, kau tidak bisa bermain karena kau terlalu takut. Tanganmu tidak apa-apa, kau harus menstabilkan emosimu dan tanganmu akan baik-baik saja." Kataku menjelaskan. Menebak kalau Sehan tidak bisa bermain piano.

Matanya menatapku dengan tajam, mata yang sayu itu seperti mengatakan terimakasih pada diriku. "Bagaimana kau tau? Aku tidak mengatakan kalau aku tidak bisa bermain piano." Tanyanya.

"Sudah ku bilang, tanganmu gemetar hebat saat kau mengatakan kalau kau seorang pianis. Aku tau. Aku juga pernah mengalami hal itu. Karena aku juga seorang pianis dulu. Tapi itu dulu." Jawabku.

"Kakimu hanya patah saja, aku akan memasang gips dan memberikan obat Pereda nyeri padamu. Aku juga sudah mensejajarkan tulangmu." Aku melanjutkan perkataanku.

Dia terus melirikku selama beberapa menit, bahkan setelah aku memasangkan gips untuknya, dia masih memperhatikanku.

"Kau bisa pulang sekarang, untuk biaya administrasinya silahkan Tanya asistenku." Imbuhku sebab pasien ini tak kunjung pergi, membuatku pusing saja.

Aku kembali duduk di kursiku, menyandarkan tubuhku dan melihatnya yang masih berdiri didepanku.

"Apa ada keluhan lain?" Tanyaku memastikan.

"Itu... apa kau bisa memainkannya lagi? Atau kau tidak bisa memainkannya lagi, itu sebabnya kau menjadi dokter sekarang." Satu pertanyaan itu membuatku terdiam. Pertanyaannya sangat menohok dan tidak terduga, mungkin karena dia memang sangat takut akan tangannya itu.

"Tentu saja bisa, kau juga bisa. Tidak perlu khawatir dan santai saja, jangan pikirkan apapun saat kau memainkan piano, kau hanya perlu memikirkan nada dan suara yang sedang kau keluarkan itu." Jawabku mencoba membujuknya agar dia keluar dengan cepat.

Saat melihatnya aku seperti melihat diriku sendiri, saat itu aku juga sangat ketakutan. "Pulanglah, jernihkan pikiranmu dan coba lagi. Aku mengatakan ini bukan sebagai seorang dokter. Melainkan sebagai seorang mantan pianis." Saranku.

***

Sementara lain, ibuku yang ada dirumah mengkhawatirkan Reivan, dia menelponnya karena tak percaya dengan perkataan Reivan kemarin.

Reivan mendengar deringan telepon, melihat kalau itu adalah panggilan dari ibuku, dia sigap langsung mengangkatnya.

[[Assalamualaikum, ibu. Kenapa telpon? Ibu butuh sesuatu?]] Tanya Reivan.

[[Tidak, ibu Hanya sedikit khawatir. Reivan, tolong jujur pada ibu, apa Sheza baik padamu?]]

[[Tentu saja, ibu tidak perlu khawatir. Aku juga mengantarnya bekerja tadi.]] Jawab Reivan.

[[Dia pergi bekerja? Bukannya dia cuti 1 minggu ini?]] Tanya ibuku tak percaya.

[[Reivan? Kau dengar ibu?]] Tanya ibuku yang tak kunjung dapat jawaban.

[[Ah, ya, aku dengar. Dia bilang dia harus melakukan sesuatu di RS dan mengganti cuti nya untuk lain kali.]] Jawab Reivan berbohong.

[[Oh begitu, kalau begitu ibu tutup teleponnya, ya? Assalamualaikum.]]

[[Ya, waalaikum salam.]]

Reivan mematikan telepon, dia menaruhnya disampingnya. Dia duduk dikursi setinggi 50 cm, duduk didepan lukisan yang masih separuh siap. Tangannya mulai mengmbil kuas dan memulai menyoretkan warna di atas kanvas.

Karena kecewa, dia menjatuhkan kuas itu dan cat berserakan dilantai. Pandangannya kosong. Hatinya hampa terasa sepi.

"Tidak perlu khawtir, aku kenal Sheza dengan baik. Dia tidak mungkin bersikap seperti itu tanpa alasan." Gumamnya. Mencoba menghibur diri sendiri layaknya badut penghibur.

Dia memegang lututnya dan duduk dilantai, memeperhatikan kakinya dan memijat ringan. "Kalau kakiku baik-baik saja dan tak pernah terluka, apa semuanya akan baik-baik saja?" Batinnya serdih.

***

Hari sudah malam, setelah sholat isya di rumah sakit aku langsung menggantung almat ku dan memakai jaket yang sudah tergantung rapi di samping mejaku. Tanganku mengmbil kunci mobil dan bergegas untuk pulang kerumah, rumahku dan Reivan.

Aku masuk kemobil dan langsung menancap gas. Melaju cepat sampai kerumah. Dipertengahan jalan, tepat didekat lampu merah aku melihat restaurant yang biasa kami kunjungi 6 tahun lalu.

"Masih ada ternyata." Gumamku melihat restaurant mewah disisi kanan jalan.

Sangat mewah dan ramai akan pengunjung. Restaurant dengan lampu warmwhite namun terang, bertema vintage kerajaan. Aku sangat menyukai tema seperti itu, itu sebabnya aku sering mengunjungi restaurant itu bersama Reivan.

Rindu akan pemandangan itu, aku membelokkan mobilku saat lampu kembali hijau. Langsung masuk kedalam restaurant smabil melihat sekeliling. Melihat apa saja yang berubah setelah aku tidak mengunjunginya selama 6 tahun.

"Sheza! Sheza, kau datang? Sudah lama sekali, kami merindukanmu." Panggil manager disana, karena langganan, mereka semua dekat denganku.

Aku tersenyum dan berjalan kearahnya, "senang bisa bertemu lagi, uncle." Balasku. Dia adalah seorang pria berumur 6 tahun di atasku.

Beberapa rambutnya mulai tumbuh uban, yah... itu mungkin normal. "Aku bisa melihat uban di rambutmu? Apa itu keturunan? Kau seperti sudah berumur 40 tahun." Lanjutku mengejek seraya membody bahunya.

Dia tertawa. "Iya, kan? Aku juga merasa tua karena uban ini, aku harus mewarnainya nanti. Dan karena kau sudah disini, aku tau kau akan memesan pizza al taglio." Katanya.

"Tolong siapkan pizza al taglio dengan sangat mewah." Lanjutnya berbicara kepada chef disana.

memesan makanan disana seperti makanan yang biasa kami pesan, aku tau kalau Reivan pasti belum makan karena dia tidak bisa memasak meskipun hanya sebatas telur goreng. Sekarang aku sudah sampai dirumah, aku memakirkan mobilku.

Berjalan santai kedepaan pintu sambil membawa sekotak pizza di tangan kiriku. Ku tekan kode rumah dan membuka pintu, aku bisa mencium bau makanan dari dalam rumah itu meski pintu baru sedikit terbuka.

"Apa dia masak? 6 tahun tidak melihatnya mungkin kebiasaanya mulai berubah." Gumamku. Aku pikir Reivan mulai memasak saat aku tidak bersamanya.

Aku berjalan kearah dapur untuk memeriksa makanan apa yang dia buat, berjalan tanpa suara membuat Reivan tidak mendengar langkahku bahkan jika aku menjingkrak.

Langkahku terhenti didepan dapur itu, betapa terkejutnya aku melihat seorang wanita berambut pendek ada didalam dapur itu bersama Reivan.

Mereka terlihat sangat dekat sampai Reivan memperhatikan apa yang sedang dia masak. Yang satu sedang sibuk mengaduk makanan di atas kopor dan yang satu sibuk memperhatikan dan menyandar di meja samping kompor dengan kedua tangannya yang dia sandarkan kebelakang untuk menopang tubuhnya.

Menyadari kehadiranku membuat Reivan tersentak, dia berjalan karahku mencoba menjelaskan siapa wanita berambut pendek itu. Dia melihat tanganku, tanganku yang sudah memegang makanan yang baru saja ku beli.

Forced to Leave you ( terpaksa meninggalkanmu)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang