[3] Bintang & Asa

190 3 1
                                    

Asa terpekik saat merasakan bahunya ditepuk kencang, sialan. Asa menoleh siap menyemburkan amarah, lagian siapa yang berani-beraninya... Felicia, rupanya. Seketika Asa berdecak kesal, "Ih, lo bisa nggak sih nggak bikin kaget. Gimana kalau seandainya gue jantungan terus masuk rumah sakit dan meninggoy? Lo pikir gue ikhlas mati muda dan ninggalin Bintang gue buat cewek-cewek kegatelan diluar sana? Nggak Fai, nggak bisa." selorohnya dramatis, membuat Fai menghadiahinya bombastic-side-eyes.

"Elah, lebay. Gitu doang, bahasannya malah merepet kemana-mana." gerutu Fai usai mendudukan dirinya diseberang Asa. "Lagian lo cengengesan mulu njir, udah gue panggilin daritadi padahal. Kali aja kan lo ketempelan setan."

"Yakali, Fai."

Fai mengedik, "Ya siapa tau, kan."

"Btw, Bintang udah balik lho." ujar Asa pamer dengan senyum cengengesannya.

Fai berdecih, sudah dia duga. "Pantesan kumat." Fai mencibir.

Lagipula, apa sih alasan Asa senyam-senyum bak ABG kasmaran selain karena Bintang. Kontras sekali perbedaannya seminggu lalu, yang terlihat seperti mayat hidup padahal mereka masih di bumi yang sama dan berhubungan tiap detik juga. Fai kadang heran, bagaimana bisa Asa sebegini bucin? Setelah sepak terjangnya mematahkan hati beberapa cogan yang mendekatinya, dia justru seperti menerima karma karna cintanya yang ugal-ugalan pada Bintang, padahal pria itu tampak biasa-biasa saja.

Mendadak Asa teringat alasannya berada disini, tak ayal kekesalannya muncul. "Eh, tapi lo tadi lama amat, katanya 2 sks doang. Gue sampai mesen minum lagi tau nggak." gerutu Asa, terbukti ada dua gelas kosong di atas mejanya.

Dia sudah menghabiskan dua milkshake yang dipesannya selama menunggu nyaris dua jam padahal area food junction sedang ramai-ramainya tapi dia merasa nyaris mati kebosanan di tengah kesendiriannya sedangkan sang pacar sedang sibuk-sibuknya bimbingan dan tak bisa menemani. "Kalau bukan karena jam tangan code coco-nya chanel aja ogah gue."

"Elah, ada maunya aja lo manis gitu ke gue."

Asa menaik-turunkan alisnya, tangannya terangkat menengadah. "Mana bayi gue?"

Fai berdecak, lalu mengangkat paperbag yang dibawanya dan menyerahkannya pada perempuan di depannya.

"Kalau gini caranya, sering-sering ulang tahun deh lo." ujar Asa. Begitu menerima paperbag tersebut, matanya sontak berbinar.

"Sama-sama." sahut Fai, "Bilang makasih sama gue aja gengsinya selangit."

Asa tak lagi memperdulikan karena perhatiannya tersita penuh dengan paperbag yang diberikan Fai padanya. Hadiah katanya, dalam rangka memperingati ulang tahunnya yang ke 21. Padahal Fai yang ulang tahun tapi justru Asa yang mendapat hadiah. Orang kaya mah, bebas. Asa membuka kotak yang membungkus jam tersebut dengan penuh kehati-hatian dan terpekik begitu melihat isinya yang seolah berkedip menyapanya.

"Fai, Fai? Lo denger? Dia manggil-manggil gue, nangis banget. Tenang sayang, mami siap mengasuh dan merawat kamu kayak bayi-bayi mami yang lain." ujar Asa, memeluk dan mencium haru jam yang dipegangnya.

"Gila lo." seru Fai, ngeri.

"Sorry ganggu, tapi gue boleh gabung nggak?" seseorang yang berdiri di dekat meja mereka itu berdeham, Asa dan Fai seketika menatapnya. "Meja lain udah penuh soalnya." imbuhnya, diiringi senyum kikuk.

Fai mengangguk, "Duduk, duduk. Kita santai kok."

Pria tersebut mengambil duduk di sebelah Fai. "Thanks." ujarnya, lalu mengulurkan tangannya. "Kenalin, Iota." ujarnya tak lupa membubuhkan senyum manis.

"Felicia." jawab Fai menjabat tangan di hadapannya.

Iota lalu mengulurkan tangannya ke depan, persis ke arah Asa yang berseberangan dengannya. "Iota." ujarnya.

Short Story: Art of LovingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang