Bab 3

70 14 3
                                    

"Mau berangkat lo?" Sapa Nala saat melihat Dian sudah rapi dengan kemejanya. "Huum, nunggu ojol."

"Kok lo belum berangkat?" Tampilan Nala masih sama seperti habis bangun tidur. "Gue libur, ada acara keluarga."

"Pak Atha tahu?" Nala mengangguk, ia sudah izin jauh-jauh hari. "Yaudah gue pergi dulu."

Nala melihat Dian menaiki sepeda motor yang akan mengantarkannya ke kantor. Nala bergegas masuk, ia ingin membersihkan tubuh sebelum bertemu keluarganya.

Jarak yang lumayan jauh membuat Nala tertidur di sepanjang jalan, hingga ia tersadar jika sebentar lagi akan sampai.

Nala turun di sebuah terminal, tak lupa ia menelpon adiknya untuk menjemput.

"On time, kan?" Niki menyerahkan helm untuk digunakan kakaknya. "Tumben."

"Haha, mampir dulu di warung seblak ya." Sudah Nala duga jika adiknya ini ada niat terselubung. "Iya." Mereka berjalan menuju warung seblak terdekat, Niki memesan menu favorit disana seblak ori mix dengan toping tulang level satu.

"Seblak ini enak lo."

"Enak iya, kan gratis."

"Hahaha, iya. Kak kok lo mau pulang sih." Sudah beberapa bulan ini Nala absen di acara keluarganya. "Memang gak boleh?"

"Ya tumben aja."

"Mau ikut acara karena Ibu yang nelpon, macam Ibu memelas meminta aku pulang." Keluh Nala, Ibunya meminta dirinya pulang karena Ibunya sudah tidak sanggup mendengar ucapan-ucapan jahat yang mengatakan jika dirinya kabur atau bahkan tengah hamil gara-gara absen di acara keluarga.

"Pantes."

"Ayo dimakan Kak." Keduanya menikmati makanan yang berkuah merah itu dengan keheningan, baik Niki sangat menyukai makanan ini meskipun ia tidak boleh keseringan.

"Apa kabar Bapak Ibu." Nala menyalami kedua orangtuanya setelah mereka sampai di rumah. "Baik, bagaimana denganmu nak?"

Nala meletakkan tasnya dan duduk berhadapan dengan keduanya, "Baik Bu, ya biasa sibuk."

"Jangan sibuk-sibuk nanti kamu fokus cari uangnya lupa sama cari calon suami." Ungkap Bapak menasihati, sebagai orangtua pada umumnya mereka ingin melihat anak-anaknya menikah. "Besok itu anak Om kamu nikah, pasti mereka akan tanya kapan kamu nyusul."

"Ya santai aja Bu, kalau jodoh nggak akan kemana." Jawab Nala sesantai mungkin, tuntutan menikah sudah ia rasakan beberapa tahun belakangan ini. "Terus kapan? Apa nggak ada calon suami kamu?"

Ada, tapi Nala memilih diam hubungan mereka masih dibilang cukup muda untuk membicarakan hal ini. Apalagi Athaya belum pernah menyinggung pernikahan.

"Belum Bu. Doakan."

"Yaudah kamu istirahat sebentar, nanti malam acaranya." Nala undur diri, ia melangkah masuk ke tempat tidurnya semasa masih kecil. Netranya tertuju ke beberapa foto jadulnya, foto zaman Nala menempuh pendidikan.

Siang berganti malam, Nala sudah mempersiapkan baju untuk acara ini. Tidak mahal tetapi mampu membuat siapa saja yang melihat mengagumi orang yang mengenakannya. "Mbak Nala, lama banget kita nggak jumpa." Sapa sepupu Nala dari adik Ibunya, perempuan yang mengenakan abaya dipadunpadankan dengan kerudung.

"Sibuk. Maaf ya."

"Ah nggak papa. Ayo Mba masuk ke dalam." Ruang keluarga yang biasanya diisi kursi dan meja berubah dengan ornamen hiasan di dindingnya nampak inisial nama calon mempelai tertulis disana.

"Eh Nala pulang." Sapa Tante Tia, pemilik acara malam ini. "Selamat ya Tante."

"Iya sama-sama, kamu kapan?" Tanya Tante Tia dengan nada yang menggoda, Nala hanya tersenyum ia enggan menjawab pertanyaan itu. "Jangan lama-lama nanti susah punya anaknya."

Masalah anak itu hak Tuhan, sebagai makhluk kita tidak boleh mendahului semesta ini.

Nala tak menjawab guyonan atau lebih ke arah sarkas, Nala tetap diam menikmati acara malam ini tanpa terganggu dengan ucapan keluarganya yang seakan mengagungkan pernikahan padahal Nala tahu keburukan apa yang disembunyikan mereka.

***

Athaya duduk di sebuah kafe ditemani secangkir kopi, dirinya terdiam sejenak menunggu pria yang tengah berjalan tergesa-gesa ke arahnya.

"Telat."

"Yoi, macet."

"Mana ada, jalan ramai juga."

"Alasan bro."

Wisnu duduk dan memesan minuman untuk menghilangkan dahaga. Wisnu menatap Athaya sesaat sebelum mengeluarkan suara.

"Bagaimana lo sudah bisa dekat dengan Wina?"

Athaya menatap Wisnu dan menggeleng, "Belum. Masih sama susah."

"Berarti Nala nggak guna dong?"

"Bukan, Nala ada gunanya tetapi Wina masih sama susah digapai." Athaya mengingat momen dimana dirinya bermain dengan Nala di sebuah mall dan bertemu dengan Wina. Nala yang cerewet mampu mencairkan suasana antara Athaya dengan Wina. Namun sayang Wina tetap tidak tertarik dengannya.

"Usaha lagi dong. Wina itu perempuan langka." Jawab Wisnu, Wina adalah sosok perempuan mandiri, gigih, yang pastinya cantik. Banyak orang yang mencoba mendekatinya namun semua itu harus gagal karena sikapnya yang kelewat pendiam.

"Lo nggak usaha?"

"Usaha terus gue, tapi ya kaya lo, gagal." Wisnu merupakan atasan Wina yang itu berarti kesempatan Wisnu jauh lebih tinggi mendekati perempuan itu. "Berarti gue harus cari cara biar Nala mau bantu."

"Yoi tapi ingat lo nggak boleh kelihatan suka sama Wina." Nala dan Wina memang dua pribadi yang berbeda yang memiliki daya tarik masing-masing.

"Gue usahakan." Keduanya tertawa renyah, membicarakan target perempuan membuat keduanya nampak semangat. Wisnu tidak pernah iri dengan Athaya begitu juga sebaliknya, mereka saling mendukung masalah ini tanpa mau menjatuhkan meskipun target perempuan mereka sama.

Tbc

Komen kalau ada penulisan yang salah

Love is not Perfect ✔ (Tamat di Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang