13. Mengakui Fakta

362 66 23
                                    

Assalamu'alaikum
Bismillahirrahmanirrahim

Allahumma Sholli Ala Sayyidina Muhammad Waalihi Washahbihi Wasallim

***

Fat kini sudah diterima kerja. Hari pertamanya ternyata tidak semenegangkan yang ia kira. Fatimah diberi pilihan, menjaga toko atau bekerja pada bagian produksi di rumah sang pemilik usaha.

"Kalau di bagian produksi, kamu saya kasih gaji 1,5 dan dapat makan sekali. Kalau di toko saya gaji kamu 1,1 dengan uang makan sepuluh ribu perhari. Pilih mana?"

Fatimah berpikir sejenak. Bila berjaga di toko itu artinya ia akan banyak berinteraksi dengan orang, sedangkan bila di rumah ia hanya akan bertemu dengan ibu pemilik toko dan salah satu pekerja lain.

"Saya pilih di sini saja, Bu."

"Ya sudah, berarti kamu mulai bisa kerja hari ini."

Fatimah memandang ke arah wanita paruh baya yang sedang memasukan sayuran ke dalam kulit risol. Beliau tersenyum ramah, Fat balas seraya mengangguk kecil. Mereka lalu berkenalan. Untari, nama wanita tersebut.

Fatimah diajarkan cara memotong sayuran untuk isian risol. Ia juga diberi tahu tekhnik menguleni adonan molen yang baik dan benar. Selain itu Fat juga dikenalkan dengan bahan-bahan dasar membuat roti. Semua sungguh terasa asing bagi Fat, tetapi ia berusaha mengingat dengan baik.

"Umurmu berapa?" Bu Untari bertanya di sela-sela kegiatannya menggoreng pastel.

"Delapan belas, Bu." Fatimah menjawab pelan karena sedang berusaha fokus membungkus kue bugis dengan daun pisang.

"Kenapa mau bekerja di sini?" tanya Untari.

"Saya butuh uang buat biaya adik sekolah. Ayah kami meninggal beberapa waktu lalu," jawab Fatimah lalu bersorak dalam hati sebab berhasil membungkus bugis dengan daun pisang.

"Rumah kamu di mana?"

Fat bingung, tak mungkin ia bilang kini tinggal di komplek perumahan mewah. Akhirnya Fat menyebutkan nama kampung tempat tinggalnya terdahulu.

"Kamu anaknya korban salah sasaran itu bukan? yang dibakar?" tebak Bu Untari membuat Fat refleks mengangguk.

"Ya Allah, Nak." Bu Untari menubruk tubuh Fatimah dan memeluknya seraya menangis.

"Kamu sama siapa sekarang tinggalnya?" Bu Untari melepas pelukannya, ia seka air matanya sendiri dengan punggung tangan.

"Sebenarnya kami udah nggak tinggal di rumah itu. Ada orang baik yang membawa kami tinggal di rumahnya," papar Fatimah membuat Bu Untari mengangguk. 

"Alhamdullillah kalau gitu, nanti sebelum pulang ikut dulu ke rumah saya, ya?"

Fat tunaikan janji setelah pulang bekerja, ia mampir ke rumah Bu Untari dan dibekali amplop saat pulang. 

"Buat adikmu, salam ya!" Begitu ucap Bu Untari.

Betapa tekejutnya Fat, ia tentu tak berani membuka isi amplop yang terasa tebal itu hingga sampai di tangan kedua adiknya.

"Ini uangnya banyak banget, Kak," ujar Qima dengan raut wajah tak percaya.

"Ini dalam rangka apa ya, Kak?" Mima justru merasa heran saja, biasanya bulan bagi-bagi uang untuk anak yatim begini terjadi saat bulan Muharram.

"Tadi ibu yang ngasih bilang, ini buat dibagiin saat bulan Muharram. Tapi, beliau kasih lebih dulu buat kita," jelas Fatimah.

"Ibunya orang kaya?" Qima penasaran.

"Ibunya salah satu panitia pembagian santunan anak yatim, jadi warga sekitar rumahnya tuh nabung gitu selama setahun penuh khusus dibagiin buat anak yatim. Gitu katanya," terang Fat menyampaikan apa yang ia tahu.

Dalam Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang