05 | Toko Buku

2.3K 291 31
                                    

◦○◦ SERENDIPITY ◦○◦

"Selamat pagi, Princess Na."

Jaemin membalikkan tubuhnya membelakangi Haechan. Memeluk selimut yang sejak semalam membungkus tubuhnya.

"Bangun, sayang~"

"Diamlah. Dan aku bukan princess, aku laki-laki." balas Jaemin sedikit kesal.

Haechan terkekeh. Dia menyentuh pinggang Jaemin, mengusapnya lembut. "Bangun, Jaemin."

"Nanti. Aku libur."

"Oh!?" Haechan tersenyum, "Ya sudah, kita di rumah saja. Menghabiskan waktu berdua."

Kedua mata Jaemin terbuka. Dia melirik Haechan. "Matamu. Aku akan pergi."

"Ke mana? Kenapa kita tidak di rumah saja? Berjalan-jalan itu melelahkan, Jaemin."

Jaemin bangkit duduk. "Aku akan keluar, kalau kau mau tetap di sini juga tidak apa."

Haechan merengut. Dia mengusak rambutnya. Perlahan rambutnya yang tadi berwarna hitam, berubah jadi coklat.

"Kau tidak cocok di tahun sekarang." kata Jaemin lalu bangkit, berjalan keluar kamar untuk mandi.

Haechan mengangkat bahunya acuh. Dia ikut bangkit. Mengibaskan tangannya dan seisi kamar langsung rapih.

"Jaemin, kau mau pergi ke mana?"

"Entahlah. Mungkin ke toko buku."

"Lagi?" Haechan menjawab tidak percaya. "Punya banyak koleksi buku, tapi fiksi semua. Pantas tetap bodoh."

Kalau saja Jaemin tidak di dalam kamar mandi, dia pasti akan memukul kepala Haechan.

"Fiksi juga ada sedikit gunanya. Kau tau, aku bisa memasuki dunia yang para penulis itu buat."

Haechan mengangguk saja. Dia berdiri di depan area tungku perapian. Meletakkan beberapa balok kayu di sana. Genggaman tangannya dia letakkan di atas balok kayu, dan saat dia membukanya, api muncul.

"Aku takut kau tidak bisa membedakan mana dunia nyata dan dunia mimpi."

"Yah, terkadang aku begitu. Aku tidak ingin, kejadian kemarin itu mimpi atau nyata."

Haechan meletakkan wajan di atas besi yang gunanya untuk menyangga wajan.

"Cepatlah mandinya. Aku dengan senang hati memasak untuk anak miskin sepertimu."

"Setidaknya aku tidak miskin hati! Dasar brengsek!"

◦○◦━◦○◦

"Sebenarnya kita akan ke mana?"

"Diam saja. Nanti kau juga tau."

Haechan mendengus. Dia berjalan mengikuti Jaemin yang entah mengajaknya ke mana. Mereka sejak tadi berjalan melewati gang-gang besar, ada tanaman bunga yang ditanam rapih.

Bukan hanya itu, mereka juga harus menyebrangi sungai kecil untuk memasuki sebuah taman.

Tatapan Haechan memperhatikan kepala Jaemin, lalu turun ke punggungnya, pinggang dan tentu saja pantatnya. Haechan menghela napas.

Ternyata dia memang mesum.

Kedua kaki panjangnya, mulai melangkah lebih lebar untuk menyamai langkahnya dengan Jaemin. Pundak itu, Haechan rangkul.

"Dulu, aku bertemu anak kecil yang polos. Dia bahkan hampir mati tertabrak kereta."

Jaemin meliriknya, "Lalu? Aku harus tau masa kecilmu begitu?"

"Tidak, sih. Aku hanya ingin bercerita. Dan ... Siapa yang bilang aku bertemu dengannya saat masih kecil? Aku lahir sudah begini, yang berbeda hanya tingkatnya saja."

Jaemin mengenyit, "Jadi, kau melewatkan masa kecil? Bahkan tidak pernah merasakannya? Rugi sekali." Jaemin menggeleng dramatis, dia berbelok untuk melewati pepohonan. Masih ada jalan setapak yang sering dilewati.

Haechan diam. Memperhatikan wajah Jaemin. Yang diperhatikan hanya menghela napas, dia menoleh untuk memandang wajah yang jauh lebih tua.

"Kenapa?"

"Tidak."

"Lalu kenapa kau terus memandangi wajahnya? Ada kotoran atau bagaimana? Aku—"

"Aku hanya memandang duniaku. Tidak boleh kah?"

Mulut Jaemin langsung terkunci. Kelopak matanya mengerjap pelan, dan sedetik kemudian dia menatap lurus. Pipinya terasa panas akibat darahnya yang berdesir cepat dan berkumpul di pipinya.

Kekehan Haechan terdengar. Dia mengusap kepala Jaemin. "Lucu sekali," ujar Haechan gemas.

Jaemin mendengus. Dia menyikut perut Haechan. Merutuki dirinya di dalam hati, bisa-bisanya dia malu dengan rayuan hantu ganteng di sebelahnya ini.

Keduanya kembali berbelok dan mereka melihat sebuah bangunan tua yang masih begitu terawat. Rerumputan tumbuh subur, beberapa bunga ditanam rapih.

"Toko buku?! Astaga Jaemin, kehidupan sebelum ini pasti kau jadi buku."

Jaemin melepaskan rangkulan Haechan, dia sedikit berlari. Menyentuh handle pintu, mendorongnya masuk. Dan ratusan buku yang disusun rapih di dalam rak adalah pemandangan pertama yang Jaemin lihat.

Haechan mendengus. "Apa bagusnya buku? Jelas-jelas dia bisa bertanya padaku dan aku bisa memberikan jawabannya." gerutu Haechan, dia menuruni tangga yang ada tepat di balik pintu. "Kalaupun tidak, aku pasti akan memberikan duniaku padanya."

Jaemin langsung berjalan mengelilingi toko buku. Sampul berwarna coklat dengan wangi khas buku begitu tercium terasa.

"Rumahmu akan jadi perpustakaan, Jaemin."

"Tidak apa. Setidaknya duniaku ada di sana."

Haechan kembali mengerang tidak suka. Tidak ada pengunjung lain, hanya ada si pegawai yang juga sedang menata buku baru di rak.

Tangan Jaemin terulur untuk mengambil buku di bagian rak teratas. Membaca judulnya dan sepenggal kalimatnya. Tidak menarik, dan Jaemin meletakkan bukunya kembali.

"Jaemin."

"Jangan ganggu aku."

"Lihat aku sebentar saja."

"Tidak. Mukamu pasti tidak akan berubah."

Haechan berdecak, dia menarik lengan Jaemin dan sedikit mendorongnya sampai punggungnya menabrak dinding batu.

"Haechan!" geram Jaemin, "Nanti yang punya toko tau."

"Tidak peduli dan tidak akan pernah peduli," balas Haechan acuh.

Jaemin mengangkat tangannya. Menampar pelan pipi Haechan.

"Tuan, kau itu—"

"Jaemin, mau menikah denganku?"

◦○◦━◦○◦

Ini pendek banget, sih. Tapi, gak papa ><

©LisaPutri0503

SERENDIPITY » HYUCKNA ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang