◦○◦ SERENDIPITY ◦○◦
"Tidak, terima kasih."
Jaemin mendorong Haechan menjauh. Segera memilih buku yang ingin dia beli. Haechan sendiri, hanya bisa berkacak pinggang dan menghembuskan napasnya berat.
"Padahal dia yang berjanji," gumamnya pelan.
Selesai dari toko buku, keduanya kembali pergi berjalan-jalan. Yang ternyata hujan kembali mengguyur. Jaemin menghela napas. Dia menatap tetesan deras air hujan.
"Aku lebih suka musim gugur." gerutu Jaemin, tapi dia juga suka hujan.
Haechan menatap langit. Dia mengangguk. Mengambil sesuatu dari belakang tubuhnya. Menunjukkannya ke Jaemin.
"Mau ke mana lagi? Aku antar."
Jaemin meliriknya. Haechan membuka payungnya. "Kau tidak akan mengajakku terbang lagi, 'kan?" tanyanya skeptis.
"Tidak." kekeh Haechan, "Lagi pula, kau juga pasti tidak ingin."
Jaemin mengangguk. Dia mendekat ke Haechan, ikut bergabung. Haechan memeluk pundak Jaemin, menariknya agar semakin mendekat.
Keduanya berjalan santai. Melewati jalan yang sudah mereka lewati saat pergi ke toko buku.
Tapi, kali ini Jaemin mengajak Haechan untuk berjalan di tepian. Maksudnya tepian kota. Dekat dengan tebing. Pemandangan yang dilihat sangat memanjakan mata.
Langkah Jaemin berhenti di tangga teratas. Memperhatikan kota yang sekarang dipenuhi kabut. Jaemin tersenyum. Pemandangan saat hujan memang tidak terlau bagus karena kabut. Tapi, setelahnya terasa begitu sejuk.
"Jaemin, apa kau tidak bisa fokus ke satu tujuan saja? Kau sering berhenti, memperhatikan benda atau apapun itu yang menarik matamu." jelas Haechan, dia mendorong pipi kiri Jaemin agar menatapnya. "Fokus padaku saja."
Jaemin diam. Memperhatikan wajah Haechan. Dari sebagian rambutnya yang menutupi keningnya, lalu alis, mata, hidung dan semuanya. Atau titik di pipinya.
Haechan sempurna untuk ukuran manusia. Berbanding terbalik dengan kepribadiannya. Minus sekali. Mesum, kalau ngomong suka asal dan banyak lagi.
"Kenapa aku harus fokus padamu saja?" tanya Jaemin, dia beralih memeluk buku yang sudah dibungkus kertas berwarna coklat. "Memangnya kau siapa?"
Tetesan air hujan yang menghantam payung mereka terdengar keras. Juga cipratan air karena menghantam jalanan berbatu.
"Aku? Suamimu lah."
"Kapan kita menikah? Kau tadi baru mengajakku menikah, bukan baru saja menikah."
Haechan menghela napas. Rasanya, jati dirinya yang sebenarnya, tidak ada harganya kalau dengan Jaemin. Haechan jadi yakin, di sini itu iblisnya adalah Jaemin. Bukan dirinya.
"Ayo turun," ajak Jaemin. Dia menjepit jaket yang Haechan kenakan dengan dua jari, mengajak pemilikya untuk segera menuruni setiap undakan tangga.
Keduanya harus sedikit melewari gang sampai suasana jalan raya terlihat. Berjalan di trotoar, bersama dengan pejalan kaki yang lain.
"Pegang ini." Jaemin meletakkan bukunya di dada Haechan, barulah dia berjalan lebih dulu. Menembus hujan.
"Anak ini." Haechan menggeleng, dia melangkah lebar. Menyusul Jaemin.
Tangan kirinya yang sudah tidak memegang buku, dia gunakan untuk menggandeng tangan Jaemin. Jaemin tertawa pelan, membalas genggaman Haechan erat.
Tawa Haechan ikut mengudara melihat Jaemin yang tertawa. Keduanya sedikit berlari, lalu melompat ke genangan air. Air menciprat ke mana-mana.
Jaemin memekik tertahan. Merasa senang dengan apa yang mereka lakukan.
Selama 23 tahun hidup, Jaemin tidak pernah sebebas ini. Sesantai ini. Hidupnya hanya digunakan untuk mencari uang sampai lupa untuk membahagiakan dirinya sendiri.
Genggaman tangan Jaemin dilepas. Dia melompat di setiap genangan air. Haechan beralih memperhatikan dari belakang, menjaganya agar tidak terjatuh.
Tidak peduli pada seluruh tubuhnya yang basah, Jaemin hanya menikmati hidupnya. Kedua sudut bibirnya yang terus tertarik ke atas, memberitahu ke semua orang kalau bahagia menurut Jaemin itu sederhana.
Suara tawanya terdengar renyah. Jaemin terlihat seperti anak-anak polos yang tidak tau apapun.
Haechan tersenyum tipis. Dia menatap langit, memejamkan matanya sekilas lalu kembali dia buka.
Permintaan Haechan begitu sederhana. Ingin terus melihat pemuda Na itu tumbuh. Setidaknya, setelah ini Haechan ingin ada di dalamnya.
"Haechan," Jaemin berjalan mundur. Menatap Haechan dengan senyum lebarnya, "Kalau aku meminta sesuatu, apa kau bisa mengabulkannya?"
Haechan mengernyit. "Kau ingin apa?" tanyanya bingung.
Jaemin menyisir rambut hitam basahnya ke belakang. Melirik ke lampu jalan, lalu kembali menatap ke Haechan.
"Apa aku bisa meminta ... sebuah kebahagiaan?"
Haechan diam. Tentu saja dia tidak akan bisa memberikannya. Dia hanya bisa memberikan hal-hal fisik ke Jaemin.
"Bersamamu."
"Eh?"
◦○◦━◦○◦
Abis ini klimaks, seriusan. Jadi, ya bentar lagi end :)
©LisaPutri0503
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY » HYUCKNA ✔
FanfictionJaemin sudah benci dengan kehidupan miskin dan yatim piatunya. Tapi, kenapa dia harus dihadapkan dengan iblis yang salah pergaulan?! Ini sebuah keberuntungan atau kesialan untuknya? HYUCKNA short story Haechan! Dom Jaemin! Sub