07.

56 1 0
                                    

  Banyak orang bilang, daripada bergantung dengan orang lain, lebih baik untuk bergantung pada diri sendiri. Sepertinya memang itu yang harus aku lakukan, berbicara pada Abi mengenai surat undangan agar tidak diantarkan oleh kami berdua selaku sekretaris dan mencari solusi yang tepat, atau bisa saja Abi yang pergi sendiri untuk mengantarkannya.

   Gara gara Adskhan yang tidak mau membantuku, membuat pikiranku melayang kemana mana, otak kecilku ini mulai membayangkan respon Abi jika aku menolaknya.

   Ish, kalau sudah overthingking begini memang susah.

  Karena itu juga, aku jadi tidak fokus melihat sekitar dan tidak berhati hati ketika jalan. Aku tidak tahu bahwa ada genangan air di lantai koridor, hal ini membuat tubuhku kehilangan keseimbangan. Aku segera memegang ujung almamater navy milik Adskhan yang sedang berdiri di depanku, dan selamat, aku tidak jatuh. Tapi sepertinya ada yang lebih besar dari musibah jatuh, yaitu omelan Adskhan!

  “Lo main tarik almamater gue aja”

  “Maaf Ads, refleks” ujarku menjelaskan.

  “Makanya fokus kalau jalan, otak lo itu lagi mikirin apa sih?”

  Mikirin kamu, kenapa nggak mau bantu aku sih?

  “Nggak”

  “Gimana coba kalau gue ikutan jatuh gara gara ditarik, terus baju gue basah kena air, mau tanggung jawab?”

  Aku tidak membalas perkataannya, aku memberikan isyarat untuk Adskhan agar melihat ke arah depan, ada Pak Ian—Wakil kepala sekolah sekaligus pembina OSIS—yang kebetulan akan lewat.

  “Aduh, ini ketos ngomel ngomel mulu” Belum sempat Adskhan menyapa pak Ian, beliau sudah lebih dulu mengeluarkan suara sambil menggelengkan kepala.

  “Iya tuh pak, sekretaris OSIS nya ceroboh banget” adunya mengenai kelakuanku.

  Enak aja! Kalau bisa aku ikut mengadu agar dilakukan pelengseran Adskhan pada jabatannya.

  “Jangan galak galak toh” rasain tuh! “Mau ambil dana buat MPLS ya? Ke ruang Wakasek duluan aja, bapak mau ketemu tamu dulu, tunggu sebentar ya” pamit beliau mengakhiri percakapan kami.

  “Aku itu nggak ceroboh ya Ads” protesku pelan saat sudah tidak ada pak Ian.

  “Itu kan pandangan lo, beda lagi sama pandangan gue”

  Kami berhenti di depan pintu yang terbuka lebar, diatasnya menggantung papan bertuliskan ruang wakil kepala sekolah. Aku melirik sekilas pada Adskhan, bermaksud apakah kita perlu masuk atau tidak. Tapi sepertinya guru yang sama menjabat sebagai wakil kepala sekolah—memang Wakasek di sekolahku tidak hanya ada satu orang—lebih dulu mengenali kami yang diam bak patung.

  “Mau ke siapa?” guru perempuan berkacamata bulat bertanya pada kami. Aku tidak tahu siapa namanya, karena banyaknya guru dan sebagian bukan yang mengajar ke kelasku, aku sering tidak mengenali mereka.

  “Pak Ian Bu”

  Guru itu mengedarkan ke ruang Wakasek “Pak Ian kayaknya lagi keluar”

  Adskhan mengangguk “Iya Bu tadi berpapasan sama beliau, ada pesan dari beliau, buat tunggu sebentar”

  Mendengar nada Adskhan yang sopan begini malah membuatku merinding dan merasa aneh, mungkin karena biasanya telingaku akrab dan begitu kenal dengan nada Adskhan yang menyebalkan.

  “Oh begitu, masuk dulu, duduk aja di sofa sambil nunggu Pak Ian” kata guru itu yang sudah lumayan berumur, sambil menunjuk sofa berwarna cokelat yang berada di tengah tengah ruang wakasek—biasanya memang digunakan ketika ada tamu ke ruangan ini.

Ketos MenyebalkanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang